Memahami Sumber - sumber Hukum Islam
Makalah
Disusun untuk tugas mata kuliah Ushul fiqih
Dosen pengampuh:
Drs. Imdadur Rahman.M.Hi
Disusun oleh:
- Alfan ainul yaqin
-Maslukhah
-Rudi sasongko
-Vika lestari
SEKOLAH
TINGGI ILMU TARBIYAH RADEN SANTRI GRESIK 2012
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunianya
yang telah di limpahkan kepada penyusun sehingga makalah ini dapat tersusun.
Ushul
fiqih merupakan salah satu mata kuliah yang sangat penting untuk dipelajari
karena mata kuliah ini bukan hanya menambah wawasan berpikir dalam hukum islam,
tetapui lebih jauh lagi, menjadi bekal metodologis bagi mahasiswa dan umat
islam pada umumnya sehingga memiliki keterampilan dalam menerapkan kaidah-kaidah
ushul fiqih dalam melakukan istinbath hukum.
Pada
kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Semoga dapat bermanfaat bagi
peningkatan wawasan mengenai zakat bagi pembaca.
Akhirakata,asaranadanakritikatetapapenyusunanantikanademi kesempurnaan makalah ini.
Gresik, 30 september 2012
penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 1
D. Defines variabel............................................................................. 2
BAB II PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN
A. Pengertian
zakat fitrah ................................................................. 3
B. Manfaat zakat fitrah ..................................................................... 4
C. Sumber hukum zakat fitrah .......................................................... 4
D. Penerima zakat fitrah .................................................................... 7
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
................................................................................... 8
B. Saran ............................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji
beserta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kelancaran dan kemudahan dalam menyusun makalah ini. Dalam hal ini kami
mengajak para pembaca untuk senantiasa taat kepada Allah SWT, menjalankan
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.Hidup ini hanya sekali
Allah berikan kepada kita, jadi gunakan waktu hidup ini dengan sebaik-baiknya,
jangan gunakan waktu untuk hal yang membuat kita lupa kepada Allah. Gunakan
waktunya untuk beramal shalih, berbuat baik kepada sesama mahluk Allah dan
tidak saling menyakiti satu sama lain. Kemudian shalawat beserta salam
senantiasa dihaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, sahabat, keluarga dan
para pengikutnya sampai hari kiamat dunia ini. Nabi Muhammad SAW merupakan
Rasul utusan Allah untuk mengubah prilaku manusia yang jahiliyyah menjadi
manusia yang berakhlakul karimah, seperti hadist yang Nabi ucapkan
“Sesungguhnya
Aku diutuskan(ke muka bumi) untuk memperbaiki akhlak”.
Adapun
tujuan penyusunan laporan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
matapelajaran fiqih serta untuk menambah wawasan mengenai masalah sumber hukum
Islam yang tidak disepakati ulama. Laporan ini berisi tentang macam-macam
sumber hukumIslam yang tidak disepakati ulama yang telah diringkas, sehingga
pembaca dapat memahami apa-apa saja mengenai sumber hukum Islam yang disepakati
dan yang tidak disepakatiulama.Kami menyadari laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami mengharapkan
saran dan kritik yang membangun.
Gresik,02 Oktober 2012
Penyusun
I.Istihan
A.Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik
terhadap sesuatu.Menurut istilah ahli usul fiqih istihsan ialah
meninggalkan qiyas jaly (jelas) untuk berpindah kepada qiyas kafi (samar-samar)
atau dari hukum kully (umum) kepada hukum Juz’i atau Istisna’i (pengecualian) karena ada dalil yang membenarkan
perpindahan itu. Istihsan dapat berarti juga:
a.Berbuat sesuatu yang lebih baik
b.Mencari yang lebih baik untuk diikuti
c..Mengikuti sesuatu yang lebih baik
d..Memperhitungkan sesuatu sebagai yang lebih baik
Pengertian Istihsan secara
terminologis menurut para ulama adalah:
- Al-Bazdawi (Hanafi)Istihsan “Berpaling dari kehendak qiyas kepada
Qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang
lebih kuat”
- Al-Ghazali (Syaf’iy) Istihsan ialah Semua hal
yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya
- Ibnu
Qudamahi (Hanbali)Istihsan ialah suatu
keadilan terhadap hukum Karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran dan
Sunnah. Imam Ahmad menggunakan istihsan dalam berbagai masalah.
- Asy-Syatibi (Maliki) Istihsan ialah
pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’iy dalam menanggapi dalil yang
bersifat global
B. Dasar hukum istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab
Hanafi, menurutmereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu
memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau
mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum
kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya.
Menurut mereka jika dibolehkan
menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah tentulah
melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama,hanya
namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab
Maliki dan sebagianMadzhab Hambali.Yang
menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjahialah
Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’
berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: "Siapa yang
berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’hanyalah
Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau,dinyatakan: "Perumpamaan orang yang melakukan
istihsan adalah seperti orang yang
melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah
itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’
untuk menentukan arah Ka’bah itu."Jika
diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka
masing-masing, akan jelas bahwa istihsan
menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat
Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu
timbul karena rasa kurang enak, kemudian
pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan
baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu
asy-Syathibi menyatakan: "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah
berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan
Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang
umum"
C. Jenis Istihsan
a. Istihsan Nash
Istihsan Nash
ialah istihsan yang sandaran nya adalah nash.
Contohnya
jual beli beli salam/indent.
b.
Istihsan Dharury.
Istihsan al-dharurah adalah istihsan yang
sandarannya adalah dharurat.Contohnya :
tidak diberlakukannya hukum potong tangan terhadap
pencuri, karena pencurian
dilakukan secara terpaksa/untuk mempertahankan
hidup, seperti yang terjadi pada masa Umar ketika terjadi tahun
kelaparan (‘amul maja’ah).
c. Istihsan ‘Urf
Istihsan ‘Urf, yaitu istihsan yang sandarannya
‘urf. Contohnya : jual beli mu’athah (jual beli via elektrik) di
swalayan.
e.Istihsan
Istislahi,
yaitu qiyas
yang sandarannya maslahah
Dalam hal ini ulama berpindah dari dalil yang
biasa/umum digunakan kepada dalil
lain yang khusus, berdasarkan pertimbangan maslahah . Contoh :
Penerapan
revenue sharing dalam sistem bagi hasil (profit distribution) di bank syariah.Menurut kebiasaan umum yang berlaku digunakan PLS,
namun berdasarkan maslahah diterapkan Revenue sharing.e. Istihsan
Qiyasi, adalah istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi.Dalam istihsan ini
seorang ulama meninggalkan qiyas jali kemudian berpegang kepada qiyas khafi
karena ada kemaslahatan.
Contoh :
Bersihnya
makanan/minuman sisa burung buas (elang dan
gagak). Menurut qiyas jali, sisa tersebut
najis karena mengqiyaskannya kepada
binatang buas yang lain yang dagingnya sama-sama haram dimakan. Namun, dalam hal kasus ini, ia diqiyaskan
kepada burung biasa (qiyas khafi) , sehingga sisa minuman/makananya
dihukumkan bersih.
II. Maslahah Mursalah
A. Pengertian Mursalah
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan maslahah
mursalah, diantaranya :
DR. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Ushul Al- Fiqh Al-Islami mendefinisikan Istishlah atau maslahah mursalah sebagai berikut :
DR. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Ushul Al- Fiqh Al-Islami mendefinisikan Istishlah atau maslahah mursalah sebagai berikut :
“ sifat sifat yang selaras
dengan tindakan dan tujuan tasyri' tetapi tidak ditemukan dalil khusus yang
mensyari'atkanya atau membatalkannya, dan dari perhubungan hukum dengan sifat
tersebut maka akan tercapai kemaslahatan dan bisa menolak kerusakan pada
manusia .
Dr Abdul Wahab Kholaf
mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut,
Suatu kemaslahatan dimana
Syari' tidak mensyari'atkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan
tidak ada dalil yang menunjukan atas pengakuan atau pembatalanya.
Imam Ghozali dalam kitab
Al-Mustasfa mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut,
“apa apa (maslahah) yang tidak ada bukti
baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak
ada yang memperhatikannya”.
Imam Ar-Rozi Dalam kitab
Al-Mahshul menyebutkan bahwa maslahah mursalah adalah
“maslahah yang tidak ada bukti nash tertentu
yang membatalkanya dan tidak pula memperhatikanya”.
Imam Asy-Syaukani didalam
kitabnya Irsyad al-Fuhul mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut,
“maslahah yang tidak diketahui apakah syari’
menolaknya atau memperhitungkanya”.
Imam Amudi dalam kitabnya
Al-Ahkam li Amudi mendefinsikan maslahah mursalah sebagai berikut,
“maslahah yang tidak ada petunjuk syara’ yang
memperhatikan atau membatalkanya”.
Imam Abdul Muhsin
mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut
“maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak
ada ketentuaan syara’ tentang pensyari’atanya atau pengilghoanya (tidak
disyari’atkan), maslahah mursalah adalah perantara untuk merealisasikan sesuatu
yang disyari’atkan”.
B. Dasar Hukum
Para ulama
yang menjadikan mursalah sebagai salah satu dalil syara, menyatakan bahwa dalil
hukum. Maslahah mursalah ialah :
a.Persoalan yang dihadapi
manusia selalu bertumbuh dan berkembang demikian pula kepentingan dan keperluan
hidupnya. Kenyataan menunjukan bahwa banyak hal-hal atau persoalan yang tidak
terjadi pada masa Rasulullah SAW, kemudian timbu pada masa sesudahnya, bahkan
ada yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Seandainya tidak ada
dalil-dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang demikian berarti akan sempitlah
kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang dapat menetapkan mana yang
merupakan kemaslahatan manusia dan mana yang tidak sesuai dengan dasar-dasar
umum dari agama islam. Jika hal itu telah ada, maka dapat direalisir
kemaslahatan manusia pada setiap masa, keadaan dan tempat.
b.Sebenarnya para sahabat,
para tabi’in, tabi’t tabi’iin dan para ulama yang datang sesudahnya telah
melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukun sesuai dengan
kemashlahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah Abu Bakar telah mengumpulkan
Al-Quran, khalifah Umar telah menetapkan talaq yang dijatuhkan tiga kali
sekaligus jatuh tiga, padahal pada masa Rasulullan SAW hanya jatuh satu,
khalifah Usman telah memerintahkan penulisan Al-Quran dalam satu mushaf dan
khalifah Ali pun telah menghukum bakar hidup golongan syiah dan radidhah yang
memberontak, kemudian diikuti oleh para ulama yang datang sesudahnya.
C. Objek Maslahah Mursalah
Yang menjadi objek maslahah
mursalah ialah kejadian atau pristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tak
ada satupun nash ( Al-Quran dan Hadist ) yang dapat dijadikan sebagai dasarnya.
Prinsip ini disepakati oleh kebanyakan pengikut mahzab yang ada dalam Fiqh,
demikian pernyataan Imam Al-Qarafi Ath-Thufi dalam kitabnya Mashalul mursalah
menerangkan bahwa mashlahah mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum
dalan bidang muamalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah adalah hak
Allah SWT umtuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui
dengan lengkap hikmah ibadah itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum muslimin
beribadah sesuai dengan ketentuannya yang terdapat dala Al-Quran dan Hadist.
Menurt Iman Al-Haromain :
menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar pengikut mahzab hanafi,
menetapkan hukum dengan mashlahah mursalah harus dengan syarat harus ada
persesuaian dengan mashlahah mursalah yang diyakini, diakui dan disetujui oleh
para ulama.
D. Syarat-Syarat Maslahah
Mursalah
Golongan yang mengakui
kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (islam) telah mensyaratkan
sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur
dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama.
Sehingga seseorang tidak menjanjikan keinginannya sebagai ilhamnya dan
menjadikan syahwatnya sebagai syariatnya.
Syarat-Syarat itu adalah
sebagai berikut :
1.Maslahah itu harus hakikat,
bukan dugaan. Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu
tentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan kepada maslahah
hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya
dari mereka.
2. Maslahah harus bersifat
umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk
beberapa orang dalam jumlah sedikit.
3.Maslahah itu harus sejalan
dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari’. Maslahah tersebut harus dari
jenis maslahah yang telah didatangkan syari‘. Seandainya tidak ada dalil
tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut, tidak sejalan denga apa yang
telah dituju oleh islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
4. Maslahah itu bukan maslahah
yang tidak benar, dimana nash yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak
menganggap salah.
E. Macam-Macam Maslahah
Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu :
1.Maslahah Dharuriyah
Maslahah dharuriyah adalah
perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila di
tinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbulah fitnah
dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima
perkara,yaitu agama,jiwa, akal, keturunan dan harta.
a). Agama, syariat yang di
wajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela
agama) untuk mempertahankan akidah islamiyah.
b). Jiwa, syariat yang
diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh
makanan, minuman, dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya.
c). Akal, syariat yang
diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum
khamar dan segala sesuatu yang memabukan.
d). Keturunan, syariat yang
diwajibkan memelihara keturunan adalah kewjiban untuk menghindarkan diri dari
berbuat zina.
e). Harta, Syariat yang
diwajibkan untuk memelihara harta adalah kewajiban untuk menjahui pencurian.
III. 'Urf
A. Pengertian 'urf
Secara bahasa “Al-adatu” terambil dari kata “al-audu” dan “al-muaawadatu” yang berarti “pengulangan”, Oleh karena itu, secara
bahasa al-’adah berarti perbuatan
atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk
dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.
Menurut jumhur ulama, batasan
minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan.
Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa
dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara perselisisihan antar manusia.
Perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf
Kata ‘urfdalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat
kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar,
ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu
yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
Meskipun arti kedua kata ini
agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua
kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka
artinya sama.
Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa
sebuah adat kebiasaandan urfitu bisa dijadikan sebuah sandaran
untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih(tegas) yang bertentangan
dengannya.
Tabel 1. Tabel perbandingan
antara ’Urfdengan ’Adah
’Urf
|
’Adah
|
Adat memiliki makna yang
lebih sempit
|
Adat memiliki cakupan makna
yang lebih luas
|
Terdiri dari ‘urf shahihdan fasid
|
Adat tanpa melihat apakah
baik atau buruk
|
‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak
|
Adat mencakup kebiasaan
pribadi
|
|
Adat juga muncul dari sebab
alami
|
|
Adat juga bisa muncul dari
hawa nafsu dan kerusakan akhlak
|
B.Macam macam 'Urf
Klasifikasi ‘Urf ditinjau
berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
1.
‘Urf
‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman
dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urfumum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
2.
‘Urf
khosh (khusus). Yaitu sebuah ‘urf
yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama
apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.
Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada
seseorang menyuruh seorang makelar untuk menawarkan tanahnya pada pembeli, dan ‘urfyang berlaku di daerah tersebut
bahwa nanti kalau tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan 2% dari
harga tanah yang ditanggung bendua antara penjual dengan pembeli; maka inilah
yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau ada
perjanjian sebelumnya.
Klasifikasi ‘Urfditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
- ‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum. Misalnya:
a.
Ada seseorang berkata: “Demi Alloh, saya hari ini tidak akan makan daging.” Ternyata
kemudian dia maka ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah,
karena kata ”daging” dalam kebiasaan
masyarakat kita tidak dimaksudkan kecuali untuk daging binatang darat seperti
kambing, sapi, dan lainnya.
b.
Ada seorang penjual berkata: “Saya jual kitab ini seharga lima puluh
ribu.” Maka yang dimaksud adalah lima puluh ribu rupiah, bukan dolar
ataupun riyal.
- ‘Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy.
Misalnya:
A.
Dalam masyarakat tertentu ada ’urf orang bekerja dalam sepekan
mendapat libur satu hari, pada hari Jum’at. Lalu kalau seorang yang melamar
pekerjaan menjadi tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar
Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur setiap hari Jum’at dan tetap
mendapatkan gaji tersebut.
Klasifikasi ‘Urfditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:
1.
Urf
shahih ialah ‘urfyang baik dan
dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
a. Seperti
mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah
menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.
2.
‘Urf
bathil ialah ‘urfyang tidak baik
dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.
Misalnya:
a.
Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat
yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan
ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
C. Kaidah yang berhubungan
Lafadl al-‘adah tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, namun yang terdapat pada keduanya adalah lafadh al-‘urf dan al-ma’ruf. Ayat dan hadits inilah yang dijadikan dasar oleh para
ulama kita untuk kaidah ini. Diantaranya ialah:
Dalil aI-Qur’an, Firman Allah Ta’ala :
(QS
Al-Araaf[7]:199). Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Juga firman-Nya:
(QS.Al-Baqarah[2]:
180). diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf
Dan beberapa ayat lain yang
menyebut lafadh ’urf atau ma’ruf yang mencapai 37 ayat. Maksud dan
ma’ruf di semua ayat ini adalah
dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang
berlaku.
Dalil dari as-Sunnah:
Dalam salah satu Hadis yang
diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam,
maka di sisi Allah pun baik”. Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar)
bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
syari’at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam
(fiqh).
D. Qawaid Fiqhiyah yang
berkaitan
Berkaitan dengan ’Urf, dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan:
“Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum”
Qaidah yang lain:
“Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan
(hukum) dengan dasar nash”.
Dengan kaidah tersebut, hukum
Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter
keuniversalan hukum Islam (sebagaimana contoh ayat di atas) dapat dijabarkan
kaidah ini dengan melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih
jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), qa’idah fiqhiyahmemberikan keluasaan
untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan
kaidah:
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang,
seperti syarat yang berlaku diantara mereka”
Kaidah-kaidah tersebut
memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum,
apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan
memperhatikan adat(‘urf) untuk dijadikan dasar pertimbangan
dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan.
E. Contoh Praktek ‘URF
Berikut adalah akad-akad saat
ini yang dapat diterima dengan ’Urf,
yaitu
1.
Konsep Aqilah dalam asuransi
2.
Jual beli barang elektronik dengan akad garansi
3.
Dalam sewa menyewa rumah. Biaya kerusakan yang
kecil-kecil yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik rumah, menjadi
tanggung jawab penyewa.
IV. Syar'un Man Qablana
A. Pengertian Syar’u man Qablana
Adabeberapa pengertian tentang
syar’u man qablana, diantaranya ;
· Syar’u man qablana artinya syariat
sebelum Islam.
Syar ‘u man qablana ialah syari ‘at yang diturunkan Allah
kepada umat sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama
Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.
“Segala apa yang
dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara‟ yang
telah disyaratkan Allah swt. bagi umat-umat dahulu melalui nabi-nabinya yang
diutus kepada umat itu seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isya as.”[3]
Syar’u man qablana atau syari’at sebelum kita maksudnya
adalah “hokum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum kita (sebelum
Islam) yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk
diikuti oleh umat dimasa itu”
Paraulama
sepakat mengatakan bahwa semua syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam
melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam.
Pembatalan itu secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum
syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari’at Islam seperti ;
beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishashdan hukuman bagi orang yang
melakukan tindak pidana pencurian.
Dari
pembahasan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syar’u man qablanaadalah syariat yang
dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya,
seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dll.
B. Dasar Hukum
Pada asas
syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama
dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad , sebagaimana
dinyatakan pada firman Allah :
"Dia
(Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia
wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan
kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan)
agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (Asy-Syûra: 13)
Di antara
asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang
hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan
sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang
berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
C.Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua
bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak
disebutkan dalam al-Qur’andan al-Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam
pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum
syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi
tiga :
- Dinasakh syariat kita(syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama. Contoh :
-
Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena
najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu. Dan
-
syari’at keharusan
bunuh diri bagi orang yang berbuat maksiat sebagai syarat pengampunan dosanya
pada zaman Nabi Musa.
- Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa
- Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat kita.
a)Yang
diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur'an atau as-Sunnah, tetapi tidak
tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b) Yang
tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari'at kita
Pembagian
ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini(Syar’u Man Qablana) :
Misalnya Q.S.5:32 yang menyebutkan:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
Begitu juga pada Q.S. 5: 45 yang artinya sebagai berikut:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Pada kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan adanya kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak. Tidak adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, apakah hal tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak mengingat ketentuan itu terdapat di dalam Alqur’an yang nota bene merupakan
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
Begitu juga pada Q.S. 5: 45 yang artinya sebagai berikut:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Pada kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan adanya kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak. Tidak adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, apakah hal tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak mengingat ketentuan itu terdapat di dalam Alqur’an yang nota bene merupakan
· Juhmuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah
mengatakan bahwa hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh maka menjadi syariat bagi kita,
tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu
dari Rasul bukan kitab-kitab mereka.
· Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah
dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie
mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat
kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali,al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dankebanyakan para ulama’.
Ada empat
dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat
umat sebelum kita adalah syariat kita :
- Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalausanya telah dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-An’am,ayat, 90, al-Nahl, ayat, 123 dan surat al-Syura, ayat, 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod(ص) ayat 24.
- kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
- Ayat kelima dalam surat al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini dibuat tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat kita.
- Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan keberadaannya oleh Wahyu.
Ada empat
dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita
sebagai syariat kita, yaitu :
- Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
- Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
- Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
- Syariat terdahulu adalah husus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syraiat terdahulu.
V. Istishab
A. Pengertian
Istishab
adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa
atau menyatakan belum ada nya hukum suatu peristiwa yang belum penah ditetapkan
hukumnya.Sedangkan definisi Asy-Syatibiadalah
segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap
berlaku hukumnya pada masa sekarang. Contoh
Muhammad telah menikah dengan Aisyah, kemudian mereka berpisah selama 15
tahun,karena telah lama mereka berpisah lalu Aisyah ingin menikah lagi dengan
lelaki lain, dalam hal ini Aisyah belum bisa menikah lagi karena ia masih
terikat tali perkawinan dengan Muhammad dan belum ada perubahan hukum tali
perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.
Oleh sebab
itu apabila seorang Mujtahid ditanya
tentang hukum kontrak atau pengelolan yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah atau dalil Syara’ yang meng-Itlak-kan
hukumnya, maka hukumnya boleh sesuai kaidah :
الاصل فى الاشياءالاباحة
Artinya :”Pangkal sesuatu adalah kebolehan”
Kebolehan adalah pangkal
(asal) meskipun tidak ada dalil yang menunjukan atas kebolehannya,dengan
demikian pangkal sesuatu itu adalah boleh. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah
:129
هوالذي خلق لكم ما فى الارض جميعا
Artinya :”Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu”
Istishab adalah akhir dalil
syara’ yang dijadikan tempat kembali para Mujatahid untuk mengetahui hukum
suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul Fiqh berkata “sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat
beredarnya fatwa” .7
Yaitu mengetahui sesuatu
menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak ada dalil yang mengubahnya
.Ini adalah teori dalam pengembalian yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi
manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka. 8
Dalam hal ini merupakan keadaan
dimana Allah menciptakan sesuatu di bumi seluruhnya. Oleh karena itu, sepanjang
tidak ada dalil yang menunjukkan perubahan nya,maka sesuatu itu tetap pada
kebolehannya yang asli.
B. Dasar Hukum
Dari
keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab
itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada
hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang
pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan.
Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan
hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari
contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi
perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas
antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.
Karena
itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain
hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan
hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan
hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah
ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya
istishab dapat dijadikan dasar hujjah.
C. Macam Macam
Dari
istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk
mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu
istishhab dapat dibagi kepada:
a.
Istishhab berdasar penetapan akal
Berdasarkan
ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum
bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan
kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan
tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala
sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerja-kan
oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada
dalil syara’ yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat
90 surat al-Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat
tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut
mengecuali-kan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya.
Dari
istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:
1. “(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu
itu mubah (boleh dikerjakan).”
2. “(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas
dari tanggungan.”
3. “(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan.”
b.
Istishhab berdasarkan hukum syara’
Sesuai
dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan
oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap
rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh
(mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini
telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama
berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain.
Menyatakan bahwa hukum syara’ itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu,
pada hakikatnya mengokohkan hukum syara’ yang pernah ditetapkan.
Dari
istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:
1. “(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu
tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu.”
2. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum
yang telah ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang
mengubahnya.”
3. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum
yang telah ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang
mengubahnya.”
C.
Kaidah-Kaidah Istishab Dan Penerapannya
Kaidah-kaidah
istishab antara lain:
·
الاصل بقاء ماكان على ماكان
حتى يثبت ما يفيره
”pada
asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah
ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”
·
الاصل في الاشياء الا باحة
“pada
asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”
·
الاصل في الانسان البراءة
“manusia
pada asalnya adalah bebas dari beban.”
·
بالشك ولايزول الابيقين
مثله ما ثبت باليقين لايزول
“apa
yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena
keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
Maka
orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya
telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal
demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpedapat
wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah
menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak
lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan
hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.
VI. Saddu Dzari'ah
A. Pengertian Saddu Dzari'ah
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ahadalah memotong jalan
kerusakan (mafsadah) sebagai cara
untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur
kerusakan (mafsadah),namun jika
perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah),maka kita harus mencegah
perbuatan tersebut.[8] Dengan ungkapan yang senada,
menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ahadalah
masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada
perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).[9]
Dalam karyanya al-Muwafat,asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu
yang boleh (jaiz)agar tidak
mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’).[10] Menurut Mukhtar Yahya dan
Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ahadalah
meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.[11] Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang
dilarang maupun yang dibolehkan.[12]
Dari berbagai pandangan di
atas, bisa dipahami bahwa sadd
adz-dzari’ahadalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu
yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya
perbuatan lain yang dilarang.
B. Dasar Hukum Saddu Dzari'ah
Dasar hukum dari
saddudz dzarî'ah ialah aI-Qur'an dan Hadits, yaitu:
a. Firman Allah SWT:
Artinya:
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (al-An'âm: 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.
b. Dan firman Allah SWT:
Artinya:
"…Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…"(an-Nûr: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
c. Nabi Muhammad SAW bersabda:
a. Firman Allah SWT:
Artinya:
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (al-An'âm: 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.
b. Dan firman Allah SWT:
Artinya:
"…Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…"(an-Nûr: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
c. Nabi Muhammad SAW bersabda:
الا وحـمى الله مـعاصيه فمـن حـام
حـول الحـمى يوشـك أن يقع فـبه
Artinya:
"Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya."(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
"Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya."(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
C. Objek Saddu Dzari'ah
Perbuatan yang mengarah kepada
perbuatan terlarang ada kalanya:
a. Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
b. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek saddudz dzarî'ah, karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan terlarang.
Yang no. 1 disebut dzarî'ah qawiyah (jalan yang kuat), sedang no. 2 dan 3 disebut dzarî'ah dha'ifah (jalan yang lemah).
a. Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
b. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek saddudz dzarî'ah, karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan terlarang.
Yang no. 1 disebut dzarî'ah qawiyah (jalan yang kuat), sedang no. 2 dan 3 disebut dzarî'ah dha'ifah (jalan yang lemah).
VII.Madzhab Sahabat
A.
Pengertian
Secara etimologi Mazhab
kata-kata mazhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba. Zahaba
artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan.
Kata-kata yang semakna ialah : maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya
berarti jalan atau cara. Mazhab (bahasa Arab: مذهب, madzhab)
adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati,
sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.
Sesuatu dikatakan mazhab bagi
seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para
ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang
dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang
menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya,
bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.[1] Dengan demikian, Mazhab sahabat
adalah jalan yang ditempuh para sahabat.
Pengertian mazhab menurut
istilah dalam kalangan umat Islam ialah : Sejumlah
dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan
agama, baik ibadah maupun lainnya.Dalam buku Nasrun Harun, mengungkapkan
Mazhab Shahabi berarti “pendapat para sahabat Rasulullah saw.” Yang dimaksud
pendapat sahabat adalah pendapat para
sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun
ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadist tidak menjelaskan hukum
terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma para
sahabat yang menetapkan hukum tersebut. [2]
Misalnya kata ‘Aisyah : “Didalam perut ibu, kandungan itu tidak
berdiam melebihi 2 tahun, berdasarkan ukuran yang bisa mengubah bayangan alat
tenun”.[3]Ungkapan tersebut tidaklah
sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya
benar-benar dari Rasulullah SAW. Maka dianggap sebagai sunah meskipun pada
zahirnya merupakan ucapan sahabat. Pendapat sahabat yang tidak bertentangan
dengan sahabat lain bias dijadikan hujjah oleh umat islam.[4]
B.
Penilaian Ulama Tentang Madzhab Sahabat
etelah Rasululah SAW. Wafat
maka tampilah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal
fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Tidaklah
diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat
islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bias dijangkau akal. Karena pendapat
mereka bersumber langsung dari Rasulullah
Para Ulama ushul fiqh sepakat
menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad
tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu
berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat
para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika
atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian para ulama ushul fiqh
juga sepakat bahwa ijma’ sahabat
secara jelas, atau ijma’ sahabat yang
tidak diketahui ada yang mengingkarinya, dapat dijadikan hujjah.
Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam al-Syafi’i dan pendapat
terkuat dari Imam Ahmad ibn Hanbal, menyatakan bahwa pendapat itu menjadi
hujjah dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas (analog) maka pendapat sahabat
didahulukan.
Menurut Imam Malik dan Imam
Ahmad ibn Hanbal, kedua sabda Rasulullah saw itu secara jelas menunjukkan bahwa
umat Islam diwajibkan untuk mengikuti Sunnah para sahabat.
Imam Malik dan Imam Ahmad Ibn
Hanbal selanjutnya mengatakan bahwa adalah sangat mungkin apa yang dilakukan
dan dikatakan para sahabat itu datangnya dari Rasulullah saw., bahkan tidak
sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah. Disamping
itu, para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-lal
yang amat penting. Hal ini menunjukkan sikap kehati-hatian mereka dalam
menjawab persoalan hukum yang diharapkan kepada mereka. Di sisi lain, apabila
orang awam dibolehkan mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat
para sahabat tentu akan lebih boleh lagi, karena Rosulullah saw, mengatakan
bahwa generasi sahabat merupakan generasi terbaik (H.R. Al-Bukhari)
Sebagian ulama Syafi’iyyah,
Jumhur al-Asya’irah, Mu’tazilah dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat sahabat
itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, karena ijtihad mereka
sama dengan ijtihad ulama lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain.
DAFTAR PUSTAKA
Umar, Muin,dkk. 1986.Ushul Fiqh . Jakarta. Proyek pembinaan
prasarana dan IAIN
Al-A’jam, Rafiq. 1983. Ushul Islamiyah Manhajuha wa Ab’aduha.
Beirut: Dar al-Ilmi.
Al-Bugha, Musthafa Dib. Atsar al-Adillah al-Mukhtalafah fiha fi
al-Fiqh al-Islamy. Damaskus: Dar el-Qalam, 1420 H/1999M, cet. III
Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 389
Imam
al-Haramain, Attalkhish Fi Ushuli al-Fiqh, Cet 1, Hal, 256,257
halaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah
Press. 1996.
Abu Zahrah, Moh., USHUL FIQIH,Jakarta:Pustaka
Firdaus,2008,cet.12
artekel yang sangat menarik..jangan lupa ya singgah di blog sya..duniapendidikan33.blogspot.com
ReplyDelete