Daftar Menu

Loading...

Wednesday 21 November 2012

Makalah Ushul Feqih-Memahami Sumber - sumber Hukum Islam


Memahami Sumber - sumber Hukum Islam
Makalah
Disusun untuk tugas mata kuliah Ushul fiqih
Dosen pengampuh:
Drs. Imdadur Rahman.M.Hi


    


Disusun oleh:
- Alfan ainul yaqin
-Maslukhah
-Rudi sasongko
-Vika lestari




SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH RADEN SANTRI GRESIK 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunianya yang telah di limpahkan kepada penyusun sehingga makalah ini dapat tersusun.
Ushul fiqih merupakan salah satu mata kuliah yang sangat penting untuk dipelajari karena mata kuliah ini bukan hanya menambah wawasan berpikir dalam hukum islam, tetapui lebih jauh lagi, menjadi bekal metodologis bagi mahasiswa dan umat islam pada umumnya sehingga memiliki keterampilan dalam menerapkan kaidah-kaidah ushul fiqih dalam melakukan istinbath hukum.
Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Semoga dapat bermanfaat bagi peningkatan wawasan mengenai zakat bagi pembaca.
Akhirakata,asaranadanakritikatetapapenyusunanantikanademi kesempurnaan makalah ini.






Gresik, 30 september 2012



penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................        i
KATA  PENGANTAR ......................................................................................       ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................      iii
BAB I    PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah ...............................................................       1
B.     Rumusan Masalah ........................................................................       1
C.     Tujuan Penelitian ..........................................................................       1
D.    Defines variabel.............................................................................       2
BAB II   PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN                                            
A.    Pengertian zakat fitrah .................................................................       3
B.     Manfaat zakat fitrah .....................................................................       4
C.     Sumber hukum zakat fitrah ..........................................................       4
D.    Penerima zakat fitrah ....................................................................       7
BAB IV PENUTUP
A.    Kesimpulan ...................................................................................       8
B.     Saran .............................................................................................       8
DAFTAR PUSTAKA




 


KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kelancaran dan kemudahan dalam menyusun makalah ini. Dalam hal ini kami mengajak para pembaca untuk senantiasa taat kepada Allah SWT, menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.Hidup ini hanya sekali Allah berikan kepada kita, jadi gunakan waktu hidup ini dengan sebaik-baiknya, jangan gunakan waktu untuk hal yang membuat kita lupa kepada Allah. Gunakan waktunya untuk beramal shalih, berbuat baik kepada sesama mahluk Allah dan tidak saling menyakiti satu sama lain. Kemudian shalawat beserta salam senantiasa dihaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, sahabat, keluarga dan para pengikutnya sampai hari kiamat dunia ini. Nabi Muhammad SAW merupakan Rasul utusan Allah untuk mengubah prilaku manusia yang jahiliyyah menjadi manusia yang berakhlakul karimah, seperti hadist yang Nabi ucapkan
“Sesungguhnya Aku diutuskan(ke muka bumi) untuk memperbaiki akhlak”.
Adapun tujuan penyusunan laporan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas matapelajaran fiqih serta untuk menambah wawasan mengenai masalah sumber hukum Islam yang tidak disepakati ulama. Laporan ini berisi tentang macam-macam sumber hukumIslam yang tidak disepakati ulama yang telah diringkas, sehingga pembaca dapat memahami apa-apa saja mengenai sumber hukum Islam yang disepakati dan yang tidak disepakatiulama.Kami menyadari laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun.


Gresik,02 Oktober 2012


Penyusun


 

I.Istihan
A.Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik terhadap sesuatu.Menurut istilah ahli usul fiqih istihsan ialah meninggalkan qiyas jaly (jelas) untuk berpindah kepada qiyas kafi (samar-samar) atau dari hukum kully (umum) kepada hukum Juz’i atau Istisna’i (pengecualian) karena ada dalil yang membenarkan perpindahan itu. Istihsan dapat berarti juga:
a.Berbuat sesuatu yang lebih baik  
b.Mencari yang lebih baik untuk diikuti
c..Mengikuti sesuatu yang lebih baik
d..Memperhitungkan sesuatu sebagai yang lebih baik

Pengertian Istihsan secara terminologis menurut para ulama adalah:
- Al-Bazdawi (Hanafi)Istihsan “Berpaling dari kehendak qiyas kepada Qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat”
-  Al-Ghazali (Syaf’iy) Istihsan ialah Semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya
- Ibnu Qudamahi (Hanbali)Istihsan ialah suatu keadilan terhadap hukum Karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran dan Sunnah. Imam Ahmad menggunakan istihsan dalam berbagai masalah.
-  Asy-Syatibi (Maliki) Istihsan ialah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’iy dalam menanggapi dalil yang bersifat global

B. Dasar hukum istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurutmereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama,hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagianMadzhab Hambali.Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjahialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau,dinyatakan: "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu."Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi menyatakan: "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum"

C. Jenis Istihsan
a. Istihsan Nash
Istihsan Nash ialah istihsan yang sandaran nya adalah nash.
Contohnya jual beli beli salam/indent.
b. Istihsan Dharury.
Istihsan al-dharurah adalah istihsan yang sandarannya adalah dharurat.Contohnya :
tidak diberlakukannya hukum potong tangan terhadap pencuri, karena pencurian
dilakukan secara terpaksa/untuk mempertahankan hidup, seperti yang terjadi pada masa Umar ketika terjadi tahun kelaparan (‘amul maja’ah).
c. Istihsan ‘Urf
Istihsan ‘Urf, yaitu istihsan yang sandarannya ‘urf. Contohnya : jual beli mu’athah (jual beli via elektrik) di swalayan.
e.Istihsan Istislahi,
yaitu qiyas yang sandarannya maslahah
Dalam hal ini ulama berpindah dari dalil yang biasa/umum digunakan kepada dalil lain yang khusus, berdasarkan pertimbangan maslahah . Contoh :
Penerapan revenue sharing dalam sistem bagi hasil (profit distribution) di bank syariah.Menurut kebiasaan umum yang berlaku digunakan PLS, namun berdasarkan maslahah diterapkan Revenue sharing.e. Istihsan Qiyasi, adalah istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi.Dalam istihsan ini seorang ulama meninggalkan qiyas jali kemudian berpegang kepada qiyas khafi karena ada kemaslahatan.
Contoh :
Bersihnya makanan/minuman sisa burung buas (elang dan gagak). Menurut qiyas jali, sisa tersebut najis karena mengqiyaskannya kepada binatang buas yang lain yang dagingnya sama-sama haram dimakan. Namun, dalam hal kasus ini, ia diqiyaskan kepada burung biasa (qiyas khafi) , sehingga sisa minuman/makananya dihukumkan bersih.

II. Maslahah Mursalah
A. Pengertian Mursalah
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan maslahah mursalah, diantaranya :
 DR. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Ushul Al- Fiqh Al-Islami mendefinisikan Istishlah atau maslahah mursalah sebagai berikut :
“ sifat sifat yang selaras dengan tindakan dan tujuan tasyri' tetapi tidak ditemukan dalil khusus yang mensyari'atkanya atau membatalkannya, dan dari perhubungan hukum dengan sifat tersebut maka akan tercapai kemaslahatan dan bisa menolak kerusakan pada manusia .
Dr Abdul Wahab Kholaf mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut,
Suatu kemaslahatan dimana Syari' tidak mensyari'atkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukan atas pengakuan atau pembatalanya.
Imam Ghozali dalam kitab Al-Mustasfa mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut,
 “apa apa (maslahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya”.
Imam Ar-Rozi Dalam kitab Al-Mahshul menyebutkan bahwa maslahah mursalah adalah
 “maslahah yang tidak ada bukti nash tertentu yang membatalkanya dan tidak pula memperhatikanya”.
Imam Asy-Syaukani didalam kitabnya Irsyad al-Fuhul mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut,
 “maslahah yang tidak diketahui apakah syari’ menolaknya atau memperhitungkanya”.
Imam Amudi dalam kitabnya Al-Ahkam li Amudi mendefinsikan maslahah mursalah sebagai berikut,
 “maslahah yang tidak ada petunjuk syara’ yang memperhatikan atau membatalkanya”.
Imam Abdul Muhsin mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut
 “maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuaan syara’ tentang pensyari’atanya atau pengilghoanya (tidak disyari’atkan), maslahah mursalah adalah perantara untuk merealisasikan sesuatu yang disyari’atkan”.

B. Dasar Hukum
Para ulama yang menjadikan mursalah sebagai salah satu dalil syara, menyatakan bahwa dalil hukum. Maslahah mursalah ialah :
a.Persoalan yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya. Kenyataan menunjukan bahwa banyak hal-hal atau persoalan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, kemudian timbu pada masa sesudahnya, bahkan ada yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Seandainya tidak ada dalil-dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang demikian berarti akan sempitlah kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang dapat menetapkan mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan mana yang tidak sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama islam. Jika hal itu telah ada, maka dapat direalisir kemaslahatan manusia pada setiap masa, keadaan dan tempat.
b.Sebenarnya para sahabat, para tabi’in, tabi’t tabi’iin dan para ulama yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukun sesuai dengan kemashlahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah Abu Bakar telah mengumpulkan Al-Quran, khalifah Umar telah menetapkan talaq yang dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh tiga, padahal pada masa Rasulullan SAW hanya jatuh satu, khalifah Usman telah memerintahkan penulisan Al-Quran dalam satu mushaf dan khalifah Ali pun telah menghukum bakar hidup golongan syiah dan radidhah yang memberontak, kemudian diikuti oleh para ulama yang datang sesudahnya.
C. Objek Maslahah Mursalah
Yang menjadi objek maslahah mursalah ialah kejadian atau pristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tak ada satupun nash ( Al-Quran dan Hadist ) yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Prinsip ini disepakati oleh kebanyakan pengikut mahzab yang ada dalam Fiqh, demikian pernyataan Imam Al-Qarafi Ath-Thufi dalam kitabnya Mashalul mursalah menerangkan bahwa mashlahah mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalan bidang muamalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah adalah hak Allah SWT umtuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadah itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum muslimin beribadah sesuai dengan ketentuannya yang terdapat dala Al-Quran dan Hadist.
Menurt Iman Al-Haromain : menurut pendapat Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar pengikut mahzab hanafi, menetapkan hukum dengan mashlahah mursalah harus dengan syarat harus ada persesuaian dengan mashlahah mursalah yang diyakini, diakui dan disetujui oleh para ulama.
D. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjanjikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syariatnya.
Syarat-Syarat itu adalah sebagai berikut :
1.Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan. Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan kepada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.
2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit.
3.Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari’. Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan syari‘. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut, tidak sejalan denga apa yang telah dituju oleh islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, dimana nash yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.
E. Macam-Macam Maslahah

Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu :
1.Maslahah Dharuriyah
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila di tinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbulah fitnah dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara,yaitu agama,jiwa, akal, keturunan dan harta.
a). Agama, syariat yang di wajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah islamiyah.
b). Jiwa, syariat yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya.
c). Akal, syariat yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukan.
d). Keturunan, syariat yang diwajibkan memelihara keturunan adalah kewjiban untuk menghindarkan diri dari berbuat zina.
e). Harta, Syariat yang diwajibkan untuk memelihara harta adalah kewajiban untuk menjahui pencurian.

III. 'Urf
A. Pengertian 'urf
Secara bahasa “Al-adatu” terambil dari kata “al-audu” dan “al-muaawadatu” yang berarti “pengulangan”, Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.

Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan. Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara perselisisihan antar manusia.

Perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf
Kata ‘urfdalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.

Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaandan urfitu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih(tegas) yang bertentangan dengannya.

Tabel 1. Tabel perbandingan antara ’Urfdengan ’Adah
’Urf
’Adah
Adat memiliki makna yang lebih sempit
Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas
Terdiri dari ‘urf shahihdan fasid
Adat tanpa melihat apakah baik atau buruk
‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak
Adat mencakup kebiasaan pribadi

Adat juga muncul dari sebab alami

Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak
 
B.Macam macam 'Urf
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
1.      ‘Urf ‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urfumum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
2.      ‘Urf khosh (khusus). Yaitu sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.
 Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar untuk menawarkan tanahnya pada pembeli, dan ‘urfyang berlaku di daerah tersebut bahwa nanti kalau tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan 2% dari harga tanah yang ditanggung bendua antara penjual dengan pembeli; maka inilah yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau ada perjanjian sebelumnya.

Klasifikasi ‘Urfditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
  1. ‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum. Misalnya:
a.       Ada seseorang berkata: “Demi Alloh, saya hari ini tidak akan makan daging.” Ternyata kemudian dia maka ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah, karena kata ”daging” dalam kebiasaan masyarakat kita tidak dimaksudkan kecuali untuk daging binatang darat seperti kambing, sapi, dan lainnya.
b.      Ada seorang penjual berkata: “Saya jual kitab ini seharga lima puluh ribu.” Maka yang dimaksud adalah lima puluh ribu rupiah, bukan dolar ataupun riyal.
  1. ‘Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy.
Misalnya:
A.    Dalam masyarakat tertentu ada ’urf orang bekerja dalam sepekan mendapat libur satu hari, pada hari Jum’at. Lalu kalau seorang yang melamar pekerjaan menjadi tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur setiap hari Jum’at dan tetap mendapatkan gaji tersebut.

Klasifikasi ‘Urfditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:
1.      Urf shahih ialah ‘urfyang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.
 Misalnya:
a. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.

2.   ‘Urf bathil ialah ‘urfyang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.

Misalnya:
a. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.

C. Kaidah yang berhubungan
Lafadl al-‘adah tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, namun yang terdapat pada keduanya adalah lafadh al-‘urf dan al-ma’ruf. Ayat dan hadits inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama kita untuk kaidah ini. Diantaranya ialah:

Dalil aI-Qur’an, Firman Allah Ta’ala :
 (QS Al-Araaf[7]:199). Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
  Juga firman-Nya:
 (QS.Al-Baqarah[2]: 180). diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf

Dan beberapa ayat lain yang menyebut lafadh ’urf atau ma’ruf yang mencapai 37 ayat. Maksud dan ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku.

Dalil dari as-Sunnah:
Dalam salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik”. Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).

D. Qawaid Fiqhiyah yang berkaitan
Berkaitan dengan ’Urf, dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan:
“Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum”
Qaidah yang lain:
“Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar nash”.

Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana contoh ayat di atas) dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), qa’idah fiqhiyahmemberikan keluasaan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan kaidah:
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka”

Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan memperhatikan adat(‘urf) untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan.

E. Contoh Praktek ‘URF

Berikut adalah akad-akad saat ini yang dapat diterima dengan ’Urf, yaitu
1.                        Konsep Aqilah dalam asuransi
2.                        Jual beli barang elektronik dengan akad garansi
3.         Dalam sewa menyewa rumah. Biaya kerusakan yang kecil-kecil yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik rumah, menjadi tanggung jawab penyewa.

IV. Syar'un Man Qablana
  A. Pengertian Syar’u man Qablana
Adabeberapa pengertian tentang syar’u man qablana, diantaranya ;
·         Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Islam.
Syar ‘u man qablana ialah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.
 “Segala apa yang dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara‟ yang telah disyaratkan Allah swt. bagi umat-umat dahulu melalui nabi-nabinya yang diutus kepada umat itu seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isya as.”[3]
Syar’u man qablana atau syari’at sebelum kita maksudnya adalah “hokum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum kita (sebelum Islam) yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat dimasa itu”

Paraulama sepakat mengatakan bahwa semua syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari’at Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishashdan hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana pencurian.
Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syar’u man qablanaadalah syariat yang dibawa oleh para rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dll.

B. Dasar Hukum
Pada asas syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad , sebagaimana dinyatakan pada firman Allah :
"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (Asy-Syûra: 13)
Di antara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.

C.Macam-Macam Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’andan al-Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
  1. Dinasakh syariat kita(syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama. Contoh :
-    Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu. Dan
-    syari’at keharusan bunuh diri bagi orang yang berbuat maksiat sebagai syarat pengampunan dosanya pada zaman Nabi Musa.
  1. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa
  2. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat kita.
a)Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur'an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b)   Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari'at kita
Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini(Syar’u Man Qablana) :
Misalnya Q.S.5:32 yang menyebutkan:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
Begitu juga pada Q.S. 5: 45 yang artinya sebagai berikut:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Pada kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan adanya kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak. Tidak adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, apakah hal tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak mengingat ketentuan itu terdapat di dalam Alqur’an yang nota bene merupakan
· Juhmuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum-hukum syariat umat sebelum kita bila soheh maka menjadi syariat bagi kita, tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan kitab-kitab mereka.
· Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat kita, maka tidak termasuk syariat kita. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali,al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dankebanyakan para ulama’.
Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita :
  1. Syariat umat sebelum kita adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalausanya telah dinasakh, karena itu kita dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-An’am,ayat, 90, al-Nahl, ayat, 123 dan surat al-Syura, ayat, 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod(ص) ayat 24.
  2. kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
  3. Ayat kelima dalam surat al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini dibuat tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat kita.
  4. Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan keberadaannya oleh Wahyu.

Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum kita sebagai syariat kita, yaitu :
  1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
  2. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
  3. Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
  4. Syariat terdahulu adalah husus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syraiat terdahulu.


V. Istishab
A. Pengertian
Istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau menyatakan belum ada nya hukum suatu peristiwa yang belum penah ditetapkan hukumnya.Sedangkan definisi Asy-Syatibiadalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang. Contoh Muhammad telah menikah dengan Aisyah, kemudian mereka berpisah selama 15 tahun,karena telah lama mereka berpisah lalu Aisyah ingin menikah lagi dengan lelaki lain, dalam hal ini Aisyah belum bisa menikah lagi karena ia masih terikat tali perkawinan dengan Muhammad dan belum ada perubahan hukum tali perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.
Oleh sebab itu apabila seorang Mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau pengelolan yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau dalil Syara’ yang meng-Itlak-kan hukumnya, maka hukumnya boleh sesuai kaidah :
الاصل فى الاشياءالاباحة
Artinya :”Pangkal sesuatu adalah kebolehan”
Kebolehan adalah pangkal (asal) meskipun tidak ada dalil yang menunjukan atas kebolehannya,dengan demikian pangkal sesuatu itu adalah boleh. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah :129
هوالذي خلق لكم ما فى الارض جميعا
Artinya :”Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu”
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali para Mujatahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul Fiqh berkata “sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa” .7
Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak ada dalil yang mengubahnya .Ini adalah teori dalam pengembalian yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka. 8
Dalam hal ini merupakan keadaan dimana Allah menciptakan sesuatu di bumi seluruhnya. Oleh karena itu, sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan perubahan nya,maka sesuatu itu tetap pada kebolehannya yang asli.
B. Dasar Hukum
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar hujjah.

C. Macam Macam
Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada:
a. Istishhab berdasar penetapan akal
Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerja-kan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’ yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut mengecuali-kan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:
1. “(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan).”
2. “(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari tanggungan.”
3. “(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan.”
b. Istishhab berdasarkan hukum syara’
Sesuai dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara’ itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara’ yang pernah ditetapkan.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:
1. “(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu.”
2. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang mengubahnya.”

3. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya.”
C. Kaidah-Kaidah Istishab Dan Penerapannya
Kaidah-kaidah istishab antara lain:
·                     الاصل بقاء ماكان على ماكان حتى يثبت ما يفيره
”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”
·                     الاصل في الاشياء الا باحة
“pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”
·                     الاصل في الانسان البراءة
“manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”
·                     بالشك ولايزول الابيقين مثله ما ثبت باليقين لايزول
“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpedapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.
VI. Saddu Dzari'ah
A. Pengertian Saddu Dzari'ah
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ahadalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah),namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah),maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.[8] Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ahadalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).[9]
Dalam karyanya al-Muwafat,asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz)agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’).[10] Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ahadalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.[11] Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.[12]
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ahadalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
B. Dasar Hukum Saddu Dzari'ah
 Dasar hukum dari saddudz dzarî'ah ialah aI-Qur'an dan Hadits, yaitu:
 a. Firman Allah SWT:
 Artinya:
 "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (al-An'âm: 108)
        Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.
 b. Dan firman Allah SWT:
 Artinya:
 "…Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…"(an-Nûr: 31)
       Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
 c. Nabi Muhammad SAW bersabda:
 
الا وحـمى الله مـعاصيه فمـن حـام حـول الحـمى يوشـك أن يقع فـبه
 Artinya:
 "Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya."(HR. Bukhari dan Muslim)
       Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

C. Objek Saddu Dzari'ah
Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya:
 a. Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
 b. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
 Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek saddudz dzarî'ah, karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
       Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
 1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
 2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
 3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan terlarang.
      Yang no. 1 disebut dzarî'ah qawiyah (jalan yang kuat), sedang no. 2 dan 3 disebut dzarî'ah dha'ifah (jalan yang lemah).

VII.Madzhab Sahabat
A. Pengertian
Secara etimologi Mazhab kata-kata mazhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba. Zahaba artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah : maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Mazhab (bahasa Arab: مذهب, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.
Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.[1] Dengan demikian, Mazhab sahabat adalah jalan yang ditempuh para sahabat.
Pengertian mazhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah : Sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya.Dalam buku Nasrun Harun, mengungkapkan Mazhab Shahabi berarti “pendapat para sahabat Rasulullah saw.” Yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadist tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut. [2]
Misalnya kata ‘Aisyah : “Didalam perut ibu, kandungan itu tidak berdiam melebihi 2 tahun, berdasarkan ukuran yang bisa mengubah bayangan alat tenun”.[3]Ungkapan tersebut tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW. Maka dianggap sebagai sunah meskipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat. Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bias dijadikan hujjah oleh umat islam.[4] 



B. Penilaian Ulama Tentang Madzhab Sahabat
etelah Rasululah SAW. Wafat maka tampilah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Tidaklah diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bias dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah 
Para Ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’ sahabat secara jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya, dapat dijadikan hujjah.
Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam al-Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad ibn Hanbal, menyatakan bahwa pendapat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas (analog) maka pendapat sahabat didahulukan.
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal, kedua sabda Rasulullah saw itu secara jelas menunjukkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk mengikuti Sunnah para sahabat.
Imam Malik dan Imam Ahmad Ibn Hanbal selanjutnya mengatakan bahwa adalah sangat mungkin apa yang dilakukan dan dikatakan para sahabat itu datangnya dari Rasulullah saw., bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah. Disamping itu, para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-lal yang amat penting. Hal ini menunjukkan sikap kehati-hatian mereka dalam menjawab persoalan hukum yang diharapkan kepada mereka. Di sisi lain, apabila orang awam dibolehkan mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat para sahabat tentu akan lebih boleh lagi, karena Rosulullah saw, mengatakan bahwa generasi sahabat merupakan generasi terbaik (H.R. Al-Bukhari)
Sebagian ulama Syafi’iyyah, Jumhur al-Asya’irah, Mu’tazilah dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat sahabat itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, karena ijtihad mereka sama dengan ijtihad ulama lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain.




DAFTAR PUSTAKA
Umar, Muin,dkk. 1986.Ushul Fiqh . Jakarta. Proyek pembinaan prasarana dan IAIN
Al-A’jam, Rafiq. 1983. Ushul Islamiyah Manhajuha wa Ab’aduha. Beirut: Dar al-Ilmi.
Al-Bugha, Musthafa Dib. Atsar al-Adillah al-Mukhtalafah fiha fi al-Fiqh al-Islamy. Damaskus: Dar el-Qalam, 1420 H/1999M, cet. III
Duktur Wahbah al-Zuhail, Ushulu al-Fiqhu al-Islami, hal, 389
 Imam al-Haramain, Attalkhish Fi Ushuli al-Fiqh, Cet 1, Hal, 256,257
halaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah Press. 1996.
Abu Zahrah, Moh., USHUL FIQIH,Jakarta:Pustaka Firdaus,2008,cet.12








1 comment:

  1. artekel yang sangat menarik..jangan lupa ya singgah di blog sya..duniapendidikan33.blogspot.com

    ReplyDelete