MAKALAH
DIMENSI-DIMENSI ISLAM
Makalah
ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Materi Pengantar Studi Islam
Semester
I
Dosen Pembimbing : Drs. H. M. Ashad, M.Ag
Disusun oleh :
1. Abdul Ghofur
2. Muhammad Ardyan Pratama
3. Muhammad Nasri
PROGRAM
S1 PAI
SEKOLAH
TINGGI ILMU TARBIYAH
RADEN
SANTRI GRESIK
2011
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang membahas tentang dimensi-dimensi yang ada di dalam islam. Dengan
ini kami berharap dapat memahami serta mendalami agama yang sejak lahir kami
percayai.
Di dalam makalah ini kami membahas
divinisi, pembagian serta penjabaran yang telah kami upayakan dalam bentuk
rangkuman guna besar harapan kami agar isi yang terkandung dalam makalah ini
dapat bermanfaat bagi kehidupan kita di dunia dan akhirat. Amin
Dan tak lupa kami juga berterima
kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberi pengarahan serta orang-orang
yang telah mendukung kami dalam pencapaian informasi maupun materi.
Demikian yang dapat kami utarakan
atas kurang dan lebihnya kami ucapkan mohon maaf lahir dan batin.
Gresik,
20 Oktober 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………i
|
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………….ii
|
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………...iii
|
BAB I PENDAHULUAN
|
1.1
Latar Belakang …………………………………………………………………1
|
1.2
Rumusan Masalah ……………………………………………………………...1
|
1.3
Tujuan ………………………………………………………………………….1
|
BAB II PEMBAHASAN
|
2.1 Syariah ……………………………………………………...………………….2
|
2.2 Thoriqoh
………………………………………………………………………..3
|
2.3 Sufisme
………………………….……………………………………………..6
|
2.4 Islam, Iman dan Ihsan
………………………………………………………….8
|
BAB III PENUTUP
|
3.1 Simpulan ………………………………………………………………………12
|
DAFTAR PUSTAKA
|
BAB I
PENDAHULUAN
|
|
1.1 Latar Belakang
Dimensi-dimensi atau tahapan-tahapan yang
terkandung dalam islam sangatlah berurutan sesuai dengan kemampuan jiwa yang
terkandung dalam diri manusia sebagai makhluk yang telah dikaruniai hati dan
pikiran sebagai alat untuk menjalani kehidupan.
Adapun
tahapan-tahapan bukanlah perbedaan yang dapat memecah belah persatuan sebagai
sesama muslim, akan tetapi berfungsi saling melengkapi. Dan dengan sadar atau
tidak, itulah tahapan-tahapan yang akan kita lalui sebagai manusia yang
berakal. Dimulai dari tingkatan syariah
sebagai perahu dan tariqoh sebagai jalan dari perahu tersebut dan sufisme
sebagai dayung untuk mengarunginya sehingga lengkap sudah dalam pencapaian
islam, iman dan ikhsan.
|
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan
Syariah ?
2.
Apa yang dimaksud
dengan Thariqoh ?
3.
Apa yang dimaksud
dengan Sufisme ?
4.
Perbedaan antara Iman,
Islam dan ihsan
|
1.3
Tujuan
Makalah ini disusun agar dapat mengetahui
bagaimana pengertian tentang Syariah, Thariqah dan Sufisme serta dapat membedakan antara Iman, Islam dan
Ihsan.
|
BAB II
PEMBAHASAN
|
2.1 Syariah
Syariah
(berarti jalan besar) dalam makna generik adalah keseluruhan ajaran Islam itu
sendiri. Dalam pengertian teknis-ilmiah syariah mencakup aspek hukum dari
ajaran Islam, yang lebih berorientasi pada aspek lahir (esetoris). Namum
demikian karena Islam merupakan ajaran yang tunggal, syariah Islam tidak bisa
dilepaskan dari aqidah sebagai fondasi dan akhlaq yang menjiwai dan tujuan dari
syariah itu sendiri.
Syariah memberikan kepastian hukum yang penting
bagi pengembangan diri manusia dan pembentukan dan pengembangan masyarakat yang
berperadaban (masyarakat madani).
Syariah meliputi 2 bagian utama :
1. Ibadah (arti khusus), yang membahas hubungan
manusia dengan Allah (vertikal). Tatacara dan syarat-rukunya terinci dalam
Quran dan Sunah. Misalnya : salat, zakat, puasa
2.
Mu'amalah, yang
membahas hubungan horisontal (manusia dan lingkungannya) .
Dalam hal ini aturannya aturannya lebih
bersifat garis besar. Misalnya munakahat, dagang, bernegara, dll.
Syariah Islam secara mendalam dan mendetil
dibahas dalam ilmu fiqh.
Dalam menjalankan syariah Islam, beberpa yang perlu menjadi
pegangan :
a. Berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunah menjauhi bid'ah (perkara
yang diada-adakan)
b. Syariah Islam telah memberi aturan yang jelas apa yang halal dan
haram , maka :
1.
Tinggalkan yang subhat
(meragukan)
2.
Ikuti yang wajib,
jauhi yang haram, terhadap yang didiamkan jangan bertele-tele
c. Syariah Islam diberikan sesuai dengan kemampuan manusia , dan
menghendaki kemudahan . Sehingga terhadap kekeliruan yang tidak disengaja
& kelupaan diampuni Allah, amal dilakukan sesuai kemampuan
d. Hendaklah mementingkan persatuan dan menjauhi perpecahan dalam
syariah
Syariah harus ditegakkan dengan upaya sungguh-sungguh (jihad)
dan amar ma'ruf nahi munkar.
Syari'at
dalam perspektif faham tasawuf ada yang menggambarkannya dalam bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam
Islam, syariah, tariqah atau tarekat,hakikat. Tingkatan keempat,ma'rifat, yang
'tak terlihat', sebenarnya adalah inti
dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut. Sebuah
tingkatan menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil mencapai
tingkatan berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya. Sebagai contoh,
jika seseorang telah mulai masuk ke tingkatan (kedalaman beragama) tarekat, hal
ini tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan syari'at. Yang mulai memahami
hakikat , maka ia tetap melaksanakan hukum-hukum maupun ketentuan syariat dan
tarekat.
|
2.2 Thariqoh
Untuk
mendapatkan pengertian yang utuh dari suatu istilah, pertama-tama biasanya
diuraikan tentang pengertian bahasa –etimologi- dari istilah tersebut. Demikian
pula dengan term tarekat yang berasal dari bahasa Arab طريقة
yang merupakan bentuk mashdar (kata benda) dari kata طرق- يطرق- طريقة yang memiliki arti الكيفية
(jalan, cara), الأسلوب (metode, sistem), المذهب
(madzhab, aliran, haluan), dan الحالة (keadaan).Pengertian
ini membentuk dua makna istilah yaitu metode bagi ilmu jiwa akhlak yang
mengatur suluk individu dan kumpulan sistem pelatihan ruh yang berjalan sebagai
persahabatan pada kelompok-kelompok persaudaraan Islam. Hanya saja tarekat
dalam pembahasan ini bukan sekedar jalan atau metode biasa, tetapi jalan dan
metode tersebut penekanannya pada hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
Dari pengertian di atas dapat
dipahami bahwa tarekat adalah suatu jalan menuju Tuhan (Allah) yang dapat
membawanya kepada kebahagiaan dunia akhirat. Jalan tersebut dalam lingkup
tasawuf memiliki makna ganda –sebagaimana disebutkan di atas. Pertama,
pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi atau sekitar abad ke-1 dan ke-2 Hijriah berarti
cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang menempuh hidup sufi. Kedua,
sesudah abad ke-11 M atau abad ke-3 H. tarekat mempunyai pengertian sebagai
suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani
pada segolongan kaum muslimin menurut ajaran dan keyakinan tertentu.
Dalam pengertian pertama, istilah tarekat masih berupa teori yang
digunakan untuk memperdalam syariat sampai kepada hakikatnya dengan melalui
tingkat-tingkat pendidikan tertentu –berupa maqamat dan ahwal.
Dengan kata lain tarekat merupakan usaha pribadi seseorang melewati jalan yang
mengantarkannya menuju Allah SWT, jalan yang dimaksud –sesuai penjelasan Syekh
Muhammad Nawawi al Banteni al Jawi- adalah melakukan hal-hal yang bersifat
wajib dan sunat, meninggalkan sesuatu yang bersifat larangan, menghindarkan
diri dari melakukan sesuatu yang boleh secara berlebihan serta berusaha untuk
bersikap hati-hati melalui upaya mujahadah dan riyadhah.
Sedangkan Haidar Bagir menjelaskan bahwa tarekat dalam arti yang pertama adalah
jalan spiritual oleh seorang pejalan (salik) menuju hakikat. Untuk
makna ini, ia identik dengan tasawuf.
Dalam pengertian yang kedua, tarekat
adalah kelompok-kelompok pengikut ajaran tasawuf yang menekankan
praktik-praktik ibadah dan zikir secara kolektif yang diikat oleh aturan-aturan
tertentu, di mana aktifitasnya bersifat duniawi dan ukhrawi. Dengan kata lain,
ia dapat dipahami sebagai suatu hasil pengalaman dari seorang sufi yang diikuti
oleh para murid, menurut aturan/cara tertentu yang bertujuan untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengalaman sufi berupa tata cara zikir, riyadhah,
doa-doa yang telah diamalkan dan menurutnya –sang sufi-telah berhasil
mendekatkan diri sang sufi kepada Tuhan, inilah yang disusun sedemikian rupa
menjadi aturan/tata cara yang baku, yang juga harus diikuti oleh murid-murid
tarekat. Khusus dalam makalah ini, yang dimaksudkan dengan istilah tarekat adalah
menurut pengertian yang kedua. Karena pengalaman sufi sifatnya individual dalam
artian sangat mungkin tidak sama antara satu sufi dengan sufi lainnya, maka
dalam aplikasinya muncul tata cara dan atau aturan yang berlainan pula. Lebih
jauh muncullah tarekat-tarekat dengan nama dan kaifiyat yang bermacam-macam. Sebagai
contoh, Syekh Abdul Qadir al Jailani -pendiri tarekat Qadiriyah- selalu
menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu, dia memberikan
beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi. Adapun beberapa
ajaran tersebut adalah taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha dan jujur. Bahkan
di antara praktik spiritual yang diadopsi oleh tarekat ini adalah zikir
(terutama melantunkan asma’ Allah berulang-ulang). Dalam pelaksanaanya
terdapat berbagai tingkatan penekanan dan intensitas. Ada zikir yang terdiri
atas satu, dua, tiga dan empat. Praktik zikir dapat dilakukan bersama-sama,
dibaca dengan suara keras atau perlahan, sambil duduk membentuk lingkaran
setelah shalat, pada waktu subuh maupun malam hari. Setelah melakukan zikir,
pelaku tarekat ini dianjurkan untuk melakukan apa yang disebut dengan pas
al anfas yakni mengatur napas sedemikian rupa sehingga dalam proses
menarik dan menghembuskan napas, asma’ Allah bersikulasi dalam tubuh
secara otomatis. Kemudian ini diikuti dengan muraqabah dan
kontemplasi. Hanya saja dari sekian banyak pengalaman pribadi para sufi
tampaknya terdapat beberapa aturan dan cara yang bisa dikategorikan dalam
kesepakatan mereka, yaitu; mendalami ilmu yang berkaitan dengan syariah,
mengendalikan nafsu untuk menghindari dosa, memperbanyak zikir dan doa
tertentu, serta tidak meringankan amaliah-amaliah yang dilakukan.
Dari pengertian di atas terdapat
indikasi bahwa substansi dari sebuah tarekat adalah التقرب
الى الله (pendekatan
diri kepada Allah SWT), hal ini dapat dipahami dari sekian banyak penjelasan
ulama –utamanya yang terkait dengan pengertian tarekat. Misalnya saja Al Habib
Asy Syaikh Al Sulthan Muhammad Sayyid Imaan bin Abdul Hakim Al Aydrus mengatakan
bahwa tarekat adalah mengarahkan maksud (tujuan) kepada Allah Ta’ala dengan
ilmu dan amal. Dikatakan juga bahwa tarekat merupakan perbuatan nafsaniyah
yang tergantung kepada sir (rahasia) dan ruh dengan melakukan taubat, wara’,
muhasabah, muraqabah, tawakal, ridha, taslim,
memperbaiki akhlak, menyadari akan kekurangan dan cela pada dirinya, dan atau
mengerjakan ibadah hanya karena mengharapkan keridha’an Allah SWT serta ingin
mendapat Nur Makrifat.Oleh sebagian ulama, yang sering dijadikan
landasan untuk hal ini adalah firman Allah SWT QS. Al Jin ; 16 :
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ
مَاءً غَدَقًا
“Dan kalau sekiranya
mereka tetap berjalan lurus di atas jalan (tarekat) itu, niscaya Kami tetap
menurunkan air hujan dari langit (memberi minum kepada mereka air yang segar)”.
Kaitannya
dengan hal ini, Asmaran As mengutip salah satu riwayat yang menunjukkan bahwa
Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, katanya “Ya
Rasulallah, manakah jalan (tarekat) yang paling dekat untuk sampai kepada
Tuhan?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak
ada yang lain kecuali zikir kepada Allah”. Dengan demikian jelaslah bahwa
dalam menempuh jalan untuk bertemu Allah, orang harus memperbanyak zikir
kepada-Nya, di samping melakukan latihan dan perjuangan yang memerlukan
keuletan, kesungguhan dan kesabaran. Jadi sekali lagi, tarekat merupakan upaya
pendekatan diri kepada Allah yang teraplikasi lewat zikir yang banyak
kepada-Nya. Akan tetapi, tarekat merupakan pengalaman pribadi sehingga aplikasi
tersebut terkadang berbeda antara satu dengan yang lain. Itulah sebabnya,
dikatakan bahwa tidak ada batasan mengenai jumlah terakat itu, karena setiap
manusia mestinya harus mencari dan merintis jalannya sendiri, sesuai dengan
bakat dan kemampuan ataupun taraf kebersihan hati mereka masing-masing. Banyak
ungkapan ulama sufi dalam menggambarkan jalan-jalan tersebut, di antaranya Abu
Thalib al Makki dalam kitabnya Quwwat al Qulub menyebutkan : الطرق إلى اللّه بعدد الخليقة “jalan-jalan menuju Allah sebanyak jumlah
makhluk”, ini berarti bahwa setiap orang mesti –sebaiknya- mencari jalan sesuai
dengan kemampuannya.
|
2.3 Sufisme
Tasawuf
(Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa arab: تصوف , ) adalah ilmu
untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun
dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya
merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam
perkembangannya melahirkan tradisi mistisme islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan
dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa
tradisi. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke 8, sekarang tradisi
ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.
Secara
etimologi,Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi".
Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada
jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi
mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan
bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh
penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan
bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Yang
lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab
al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa"
("Orang orang beranda"), yang mana dalah sekelompok muslim pada waktu
Nabi muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi,
mendedikasikan waktunya untuk berdoa.
Secara faham, Banyak pendapat pro
dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau
dari dalam agama islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasauf
sangat lah membingungkan
Sebagian
pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang
sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Dan orang-orang Islam baru di daerah
Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang
yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah
masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari
kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk
mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan
berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada
waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit
domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi
penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian
disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara orang penganut paham
tersebut disebut orang sufi.
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal
dari zaman Nabi Muhammad. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan
pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan di atas. Mereka
dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi
Muhammad . Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar
umat Islam di zaman Khalifah Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib,
khususnya karena faktor politik.Pertikaian antar umat Islam karena
karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa
khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi
terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan
wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang
seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di
pelopori oleh Hasa Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh
figur-figaur lain seperti Shafyan al- Tsauri dan Rabi'ah al- Adawiyah.
|
2.4 Islam, Iman dan Ihsan
2.4.1 Islam
|
Islam secara etimologi
(bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut syari’at
(terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua pengertian: Pertama. Apabila
disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka pengertian Islam
mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh
masalah ‘aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. Jadi pengertian
ini menunjukkan bahwa Islam adalah mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati
dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla atas semua yang telah di-tentukan
dan ditakdirkan, sebagaimana firman Allah Subhana wa Ta’ala tentang Nabi
Ibrahim ‘Alaihis salam
|
"(Ingatlah) ketika Rabb-nya
berfirman kepadanya (Ibrahim), ‘Berserahdirilah!’ Dia menjawab: ‘Aku berserah
diri kepada Rabb seluruh alam.’” [Al-Baqarah: 131]
|
Allah Azza wa Jalla juga berfirman
|
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah
Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah
mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar
terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”
[Ali ‘Imran: 19]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
|
"Dan barangsiapa mencari agama
selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang
rugi.” [QS. Ali ‘Imran: 85]
|
Menurut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah, definisi Islam adalah:
|
"Islam adalah berserah diri kepada
Allah dengan men-tauhidkan-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan ketaatan,
dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya"
Kedua. Apabila kata Islam disebutkan
bersamaan dengan kata iman, maka yang dimaksud Islam adalah perkataan dan
amal-amal lahiriyah yang dengannya terjaga diri dan harta-nya, baik dia
meyakini Islam atau tidak. Sedangkan kata iman berkaitan dengan amal hati. Sebagaimana
firman Allah Azza wa Jalla: “Orang-orang
Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu
belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman
belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia
tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.’” [Al-Hujuraat : 14]
|
Tidak diragukan lagi bahwa
prinsip agama Islam yang wajib diketahui dan diamalkan oleh setiap muslim ada
tiga, yaitu; (1) mengenal Allah Azza wa Jalla, (2) mengenal agama Islam beserta
dalil-dalilnya, dan (3) mengenal Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mengenal agama Islam adalah landasan yang kedua dari prinsip agama ini
dan padanya terdapat tiga tingkatan, yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Setiap
ting-katan mempunyai rukun sebagai berikut:
|
Tingkatan Pertama : Islam
|
Islam memiliki lima rukun, yaitu:
|
[1]. Bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan
hanya Allah, dan bersaksi bahwa Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah.
|
[2]. Menegakkan shalat.
|
[3]. Membayar zakat.
|
[4]. Puasa di bulan Ramadhan.
|
[5]. Menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu menuju ke sana.
Kelima
rukun Islam ini berdasarkan sabda Nabi Mu-hammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi
dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan
haji ke Baitullah jika engkau mampu menuju ke sana. Juga sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam "Islam dibangun
atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi
dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan
haji ke Baitullah.”
|
2.4.2
Iman
|
Definisi iman menurut Ahlus
Sunnah mencakup per-kataan dan perbuatan, yaitu meyakini dengan hati,
meng-ikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan, dapat
bertambah dengan ketaatan dan dapat ber-kurang dengan sebab perbuatan dosa dan
maksiyat.
|
Iman
memiliki beberapa tingkatan, sebagaimana terdapat dalam sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam "Iman memiliki
lebih dari tujuh puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang, cabang yang
paling tinggi adalah ucapan laa ilaaha illallaah, dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri (rintangan) dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang
iman.”
|
Rukun Iman ada enam, yaitu:
|
[1]. Iman kepada Allah.
|
[2]. Iman kepada Malaikat-Malaikat-Nya.
|
[3]. Iman kepada Kitab-Kitab-Nya.
|
[4]. Iman kepada Rasul-Rasul-Nya.
|
[5]. Iman kepada hari Akhir.
|
[6]. Iman kepada takdir yang baik dan buruk.
|
Keenam
rukun iman ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu ‘anhu dalam jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas
perrtanyaan Malaikat Jibril ‘Alaihis sallam tentang iman, yaitu: "Engkau beriman kepada Allah,
Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari Akhir, dan engkau
beriman kepada takdir yang baik dan buruk.”
|
2.4.3
Ihsan
|
Ihsan memiliki satu rukun
yaitu engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla seakan-akan engkau
melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia me-lihatmu.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu ‘anhu dalam kisah jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada Jibril ‘Alaihis salam ketika ia bertanya tentang ihsan, maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Engkau
beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka bila engkau tidak
melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.”
|
Tidak ragu lagi, bahwa makna
ihsan secara bahasa adalah memperbaiki amal dan menekuninya, serta
meng-ikhlaskannya. Sedangkan menurut syari’at, pengertian ihsan sebagaimana
penjelasan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam: "Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya,
maka jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu" Maksudnya,
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan ihsan dengan memperbaiki
lahir dan batin, serta menghadirkan kedekatan Allah Azza wa Jalla, yaitu
bahwasanya seakan-akan Allah berada di hadapannya dan ia melihat-Nya, dan hal
itu akan mengandung konsekuensi rasa takut, cemas, juga peng-agungan kepada
Allah Azza wa Jalla, serta mengikhlaskan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla
dengan memperbaikinya dan mencurahkan segenap kemampuan untuk melengkapi dan
menyempurnakannya.
Dimensi
islam yg di maksud disini adalah tentang sisi keislaman seseorang. Yaitu: Iman
dan Ihsan. Dimensi islam berawal dari sebuah hadist yang diriwayatkan oleh
Al.Bukhori dan Imam Muslim dalam masing-masing kitab sahih nya . Yang kurang
lebih artinya sebagai brikut: “Nabi
Muhammad SAW keluar dan (berada di skitar sahabat ) seseorang, datang meghadap
beliau dan bertanya:”Hai Rasul Allah, apakah yang dimaksud dengan Iman? Beliau
menjawab:” Iman engkau percaya kepada Allah,Malaikat-nya,kitab-kitab nya,para
utusan-utusan nya dan percaya kepada kebangkitan. Laki-laki itu kemudian
bertanya lagi:” Apakah yang dmaksud dengan Islam? Beliau menjawab:” Islam
adalah engkau menyenbah Allah dan tidak Musrik kepadanya engkau tegak kan
Sholat yang wajib dan berpuasa pada bulan Romadhon” Laki-laki itu bertanya lagi
“ Apakah yang dmaksud dengan Ihsan? Nabi Muhammad SAW Menjawab:”Engkau sembah
Tuhan Seolah-olah engkau melihat nya Apabila engkau tidak melihat nya maka
(engkau barkeyakinan) bahwa dia melihat mu. “(HR.Bukhori dan Muslim)”
Dari hadist diatas dapat kita ambil kesimpulan
bahwa Iman,Islam dan Ihsan dapat di bedakan tetapi tidak dapat di pisah kan
antara satu dengan yang lain nya memiliki ketertarikan. Stiap pemeluk Agama
Islam mengetahui dengan pasti bahwa Islam tidak sempurna tanpa Iman dan Iman juga
tidak sempurna tanpa Ihsan. Sebalik nya Ihsan Mustahil tanpa Iman, dan Iman
mustahil tanpa Islam.
Ibnu Tamiah menjelaskan Bahwa DIN itu terdiri
dari Tiga unsur. Yaitu: Islam,Iman dan Ihsan.
Dalam tiga unsur tersebut terselip makna tingkatan. Orang mulai dengan
Islam, kemudian berkembang ke arah Iman, dan memuncak dalam Ihsan.
|
BAB 111
PENUTUP
|
3.1
SIMPULAN
1.
syariah dengan
aturannya lebih bersifat garis besar.
2.
Tariqoh dengan lebih
mengarah pada suatu jalan menuju Tuhan
(Allah) yang dapat membawanya kepada kebahagiaan dunia akhirat
3.
Sufisme dengan ilmu pengetahauan seputar bagaimana
cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk
memporoleh kebahagian yang abadi.
4.
Iman,Islam dan Ihsan
dapat di bedakan tetapi tidak dapat di pisah kan antara satu dengan yang lain
nya memiliki ketertarikan. Setiap pemeluk Agama Islam mengetahui dengan pasti
bahwa Islam tidak sempurna tanpa Iman dan Iman juga tidak sempurna tanpa Ihsan.
Sebalik nya Ihsan Mustahil tanpa Iman, dan Iman mustahil tanpa Islam.
|
DAFTAR PUSTAKA
|
1. Al
Turmudzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah. Sunan al Turmudzi. Beirut.
Dar al Fikr.1994. jil. V.
2. Asmaran
As. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta. RajaGrafindo Persada. 2002.cet.
II.
3. Bagir,
Haidar. Buku Saku Tasawuf. Bandung. Mizan Pustaka. 2006. cet. II.
4. Musthafa
al-Siba’i, aI-Sunnat wa makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamiy, Beirut:
al-Maktab al-Islami, 1978, h. 53.
5. Kesadaran
yang demikian ini dalam terminologi tasawuf disebut dengan muraqabah.
Baca, ‘Abd al-Aziz al-Daraini, Thaharat al-Qulub wa al-Khudlu’ li’Alam
al-Ghuyub, Jeddah; Dar al-Haramain, T.th. h. 225.
|
No comments:
Post a Comment