MAKALAH
FILSAFAT ISLAM
ARAH
PEMIKIRAN AR-ROZI
Di
susun oleh :
1.
Mutmainnah
2. Eva Supriyanti
3. Muhammad fadhlan aly
TAHUN
PELAJARAN 2011-2012
SEMESTER
3
BAB II
REFLEKSI PEMIKIRAN FILSAFAT AR-RAZI
A.
Biografi dan Karyanya,
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya Ibn Yahya ar-Razi,
yang kemudian disebut dengan Ar-Razi. Di Barat dikenal Rhazes. Ia lahir di Ray
dekat Teheran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Ia hidup pada masa pemerintahan
Dinasti Saman (204-395 H). Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar
uang (money Changer), dan sebagai pemusik kecapi. Pendek kata, Ar-Razi
adalah seorang yang ulet dalam bekerja dan belajar, karenanya tidak heran kalau
ia tampak menonjol dibanding rekan-rekan semasanya, bahkan ia
sangat tenar. Di kota Ray ini ia belajar kedokteran kepada Ali ibn Rabban
al-Thabari (192-240 H/808-855 M), belajar filsafat kepada Al-Balkhi, seorang
yang senang mengembara, menguasai filsafat, dan ilmu-ilmu kuno. Ia juga belajar
matematika, astronomi, sastra, dan kimia.[1]
Pada masa Manshur ibn Ishaq ibn Ahmad ibn As’ad sebagai Gubernur Ray, Ar-Razi
diserahi kepercayaan memimpin rumah sakit selama enam tahun (290-296 H). Pada
masa ini juga Ar-Razi menulis buku al-Thibb al-Mansuri yang
dipersembahkan kepada Manshur ibn Ishaq ibn Ahmad. Dari Ray kemudian Ar-Razi
pergi ke Baghdad, dan atas permintaan Khalifah Al-Muktafi (289-295 H), yang
berkuasa pada waktu itu, ia memimpin lembaga ilmiah dan rumah sakit Maristan
di Baghdad.[2]
Dalam menjalankan profesi kedokteran, ia dikenal pemurah, sayang kepada
pasien-pasiennya, dermawan kepada orang-orang miskin dengan memberikan
pengobatan kepada mereka secara cuma-cuma. Hitti mengatakan bahwa Ar-Razi
adalah seorang dokter dan pendidik yang paling besar dan paling orisinil dari
seluruh dokter muslim, pendidik yang sangat perhatian terhadap
murid-muridnya, dan juga seorang penulis yang paling produktif.[3]
Sarton dalam Introduction to the History of Science memberikan komentar;
orang kreatif terbesar abad ini adalah Zakaria Ar-Razi, seorang Muslim Persia,
seorang dokter dan juga pengajar terbesar Islam dari seluruh ilmuan abad
pertengahan.[4]
Kemasyhuran Ar-Razi sebagai seorang dokter tidak saja di Dunia Timur, tetapi
juga di Barat; ia kadang dijuluki The Arabic Galen. Setelah Khalifah Al-Muktafi
wafat, Ar-Razi kembali ke Ray dan meninggal pada 5 Sya’ban 313 H (27 Oktober
925 M) setelah menderita sakit katarak yang dia tolak untuk diobati dengan
pertimbangan, sudah cukup banyak dunia yang pernah dilihatnya, dan tidak ingin
melihatnya lagi.[5]
Diberitakan, Ar-Razi banyak menghabiskan waktunya bersama murid dan pasiennya,
di samping belajar dan menulis. Karena keseriusannya dalam belajar menjadi
salah satu penyebab katarak yang dideritanya. Ar-Razi dikenal seorang pemberani
dalam menentang beberapa kepercayaan Islam yang fundamental, atas dasar sikap
yang dipilihnya sebagai seorang rasionalis dan pendukung pandangan kaum
naturalis kuno, sehingga ia banyak mendapat kecaman dari pengarang kemudian.[6]
Lawan-lawan Ar-Razi yang patut dicatat adalah (1) Abu Hatim Ar-Razi (w. 322
H/933 M), lawan paling penting mengingat kepiwaiannya berdakwah dalam aliran
Syi’ah Isma’iliyah. Perbedaan pendapatnya dengan Ar-Razi terutama tentang agama
dan kenabian ia tulis dalam bukunya ‘Alam al-Nubuwwah. Menurut Abu
Hatim, Ar-Razi lebih mengutamakan filsafat dari pada agama yang dianggapnya
sebagai khurafat dan membawa kepada kebodohan dan taqlid. (2) Abu Qasim
al-Balkhi, pimpinan kaum Mu’tazilah Baghdad. Perbedaannya dengan Ar-Razi
terutama mengenai waktu yang terdapat dalam buku al-‘Ilm al-Ilahi, dan
(3) Ibn Tammar, yang menolak tulisan Ar-Razi dalam al-Thibb al-Ruhani.[7]
Diperkirakan karya Ar-Razi mencapai 200 judul dalam berbagai bidang keilmuan,
tetapi banyak karya tersebut yang hilang. Karya-karya Ar-Razi dimaksud adalah:
1.
Al-Asrar (bidang kimia),
2.
Al-Hawi (merupakan ensiklopedi kedokteran
sampai abad ke 16 di Eropa),
3.
Al-Mansuri Liber al-Mansories (bidang kedokteran, 10 jilid),
4.
Al-Judar wa al-Hasbah (tentang analisa penyakit cacar dan
campak serta pencegahannya),
5.
Al-Thibb al-Ruhani,
6.
Al-Sirah al-Falsafiyyah,
7.
Amarah al-Iqbal al-Dawlah,
8.
Al-Ladzdzah,
9.
Al-‘Ilm al-Ilahi,
10.
Maqalah fi ma ba’d al-Thabi’iyyah, dan
B. Epistimologi Menurut Ar-Razi,
Ar-Razi menaruh perhatian besar terhadap persoalan epistemologi, di mana akal
atau intelegensi (al-‘Aqlu) diberi tempat istemewa sebagai sumber
dan perangkat utama untuk memperoleh pengetahuan.[9]
Keberadaan akal tidak terlepas dari peran panca indera sebagai penunjang utama
fungsi akal, meski pengetahuan yang diperoleh melalui indera terbatas pada
obyek-obyek kebendaan (metariil), serta terikat oleh ruang dan waktu. Potensi
yang ada pada akal mampu mengatasi keterikatan dan keterbatasan indera, hingga
menjangkau hal-hal di luar materi.
Menurut ar-Razi, akal adalah sesuatu yang berfungsi menggambarkan berbagai aktifitas
intelektual (af’al al-‘aqliyyah) sebelum tampak dan terasakan
oleh indera yang membuat seseorang seolah telah melihat dan merasakannya.
Gambaran tersebut kemudian terefleksikan ke dalam aktivitas-aktivitas inderawi
(af’al al-hissiyyah), hingga obyek atau stimulus yang direspon
sama persis dengan yang digambarkan dalam ruang hayal.[10]
Antara akal dan indera tersebut memiliki hubungan fungsional, di mana akal
memproyeksikan suatu gambaran yang direspon panca indera dan sebaliknya. Dalam
organ otak yang berperan sebagai perantara (al-Wasilah) bagi daya
berfikir (an-natiqah), akal memainkan fungsinya sebagai pusat pengendali
berbagai aktivitas fisik maupun psikis. Akal mengendalikan fungsi-fungsi rasa (al-hiss),
reaksi gerak (al-harakah), kehendak (al-iradah), hayalan (at-takhayyul),
fikiran (al-fikr), serta ingatan (az-zikr), melalui susunan saraf
pusat dengan dibantu unsur lain yang juga terdapat di dalam otak (al-jauhar
al-hal al-fih).[11]
Akal merupakan salah satu elemen psikis yang dipandang sebagai karunia Tuhan
paling besar, paling berguna dan paling baik atas diri manusia, yang melebihkan
manusia atas makhluk-makhluk lain. Akal memungkinkan manusia meningkatkan
derajat hidupnya, membuat manis dan indah kehidupan, serta membantu meraih
berbagai tujuan dan cita-cita. Pandangan ini mewarnai setiap aspek pemikiran
ar-Razi baik dalam menjelaskan persoalan-persoalan metafisik, manusia, moral,
bahkan dalam mendekati masalah keagamaan.
Dengan akalnya manusia mampu memahami berbagai gejala alam, membongkar berbagai
misterinya, termasuk memahami diri manusia sendiri. Peningkatan kualitas
penggunaan akal memungkinkan manusia mampu mempelajari struktur kimiawi
benda-benda sekitar, bentuk langit dan bumi, menentukan ukuran dan jarak
benda-benda angkasa, serta memahami anatomi makhluk hidup. Hal ini mendorong
lahir dan berkembangnya berbagai bidang keilmuan, yang mendasari penemuan
berbagai peralatan (teknologi) guna menunjang pemenuhan tuntutan hidup.
Akal merupakan perangkat yang sangat menentukan dalam menaklukkan, menguasai,
mengatur, serta memanfaatkan potensi alam sebaik mungkin. Manfaat yang bisa
dipetik dari akal tidak sebatas pada pemahaman, penemuan dan penciptaan
cara-cara maupun alat-alat yang bersifat kebendaan. Akal juga menjadi perangkat
utama yang mampu mengantarkan manusia sampai pada pengetahuan tentang Tuhan
Yang Maha Agung (ma’rifah al-Bari), pengetahuan paling tinggi dan paling
bermanfaat yang dapat dicapai manusia.[12]
Karena itu ar-Razi memposisikan akal sebagai penguasa, pemerintah, pengendali,
dan tempat bersandar dalam setiap pengambilan keputusan. Akal merupakan rujukan
utama, tempat berkonsultasi dalam bertindak serta memecahkan berbagai
persoalan. Sedemikian tingginya kedudukan akal, maka menjadi kewajiban bagi
setiap manusia untuk menempatkannya sebagai penentu setiap langkah
kehidupannya. Secara bersemangat ar-Razi menyatakan keharusan manusia untuk
tidak sekali-kali merendahkan akal, serta menurunkan keagungannya dengan cara
apapun. Akal tidak sepantasnya diperintah (makmum), karena dia adalah
pemerintah (al-hakim). Akal tidak boleh dibelenggu (mazmum)
karena dia adalah pengendali (az-zimam). Akal juga tidak boleh dijadikan
pengikut (tabi’), karena dia adalah panutan (al-matbu’). Manusia
harus menghormati akal, serta berpegang teguh kepadanya dalam menghadapi segala
urusan. Manusia harus melangkah atas dasar perintahnya dan berhenti atas dasar
larangannya.[13]
Ar-Razi membedakan akal dengan kehendak hawa nafsu (al-hawa). Keduanya
sama-sama terdapat dalam diri manusia, namun keberadaan nafsu dipandang hanya
membuat akal menjadi cacat dan kotor (afatuhu wa mukaddiruhu). Apabila
nafsu menguasai akal, maka jalan akan terbelenggu dan terbelokkan dari petunjuk
dan keselamatan hakiki. Upaya-upaya tertentu diperlukan untuk menjaga
kejernihan akal, agar cahayanya dapat menerangi manusia, mengantarkan mereka
mencapai tujuan yang diinginkan, dan memperoleh kebahagiaan setinggi-tingginya.
Di antara upaya yang dapat ditempuh adalah dengan mendisiplinkan, menundukkan,
menggiring dan memaksa nafsu mematuhi keputusan akal.[14]
Pengagungan terhadap akal sebenarnya bukan sesuatu yang istemewa dalam ajaran
Islam. Al-Qur’an sendiri mencela orang-orang yang tidak menggunakan akalnya.
Ungkapan semacam itu dapat dijumpai dalam al-Qur’an kurang lebih lima puluh
kali, yang seluruhnya menggunakan bentuk verbal sebagaimana sering
diterjemahkan dengan kata memikirkan, memahami, dan memperhatikannya.[15]
Pandangan tentang intensitas peran akal sebagai perangkat keilmuan di
lingkungan umat Islam relatif beragam, sesuai dengan tingkat dan pola
interpretasi yang diberikan terhadap persoalan ini. Sebagian ulama muslim
menempatkan akal di bawah wahyu, sebagian lagi mensejajarkannya, dan ada
sebagian lainnya yang menempatkan akal di atas wahyu.[16]
Keistimewaan pemikiran ar-Razi terletak pada keberaniannya menempatkan akal
logis sebagai kriteria utama bagi setiap bentuk pengetahuan dan perilaku.
Ar-Razi tidak memberi tempat bagi kekuatan irasional yang hanya berpijak pada
kebiasaan (tradisi) ataupun intuisi mistis. Karena itu ia juga menolak
doktrin-doktrin keagamaan yang dipandang tidak memiliki dasar pembenaran secara
logis.[17]
Hal ini menyebabkannya dituduh sebagai seorang atheis (al-mulhid) yang
mempertuhankan akal.
Hasil penelitian al-‘Abd menunjukkan bahwa pada umumnya berbagai kritik yang
ditujukan kepada ar-Razi, termasuk tuduhan al-mulhid merupakan sikap
yang terlalu berlebihan dan lebih menonjolkan emosi. Di setiap karyanya tidak
ditemukan penolakan atas eksistensi Allah SWT atau Nabi, bahkan ar-Razi sering
membaca shalawat kepada Nabi di sela-sela tulisannya. Ar-Razi memberi tempat
terhormat bagi wahyu dan tradisi yang baik sebagai sumber kebenaran. Penolakan
terhadap wahyu dan kenabian tidak diketemukan kecuali dalam tulisan lawan
polemiknya.[18]
Hanya saja ar-Razi memang berusaha memberi cara pandang berbeda terhadap
berbagai persoalan, termasuk masalah agama. Ar-Razi tidak mendekati persoalan
dengan mengedepankan nas-nas al-Qur’an maupun al-Hadits, melainkan lebih
menekankan pendekatan Burhani,[19]
sebuah pendekatan kefilsafatan, dengan asumsi bahwa akal tidak akan
bertentangan dengan agama, sebaliknya agama yang benar tidak akan bertentangan
dengan hukum-hukum akal.
Iqbal menilai kecenderungan ar-Razi tersebut sebagai bagian dari upaya
pengembangan semangat induktif di kalangan ilmuwan muslim. Ini selaras dengan
pemikiran kefilsafatan yang dikembangkannya, di mana ar-Razi dikenal sebagai
orang pertama yang mengkritik prinsip pertama Aristoteles, meski penolakan
secara sistematis terhadap logika formal tersebut baru dilakukan beberapa waktu
kemudian oleh al-Ghazali dan dikembangkan
oleh
Ibn Taimiyyah. Ar-Razi menindaklanjutinya dengan mengembangkan metode penelitian
yang berbasiskan observasi dan eksperimentasi (at-Tajribi).[20]
Tidak seperti para pemikir pada masanya yang berpandangan bahwa generasi
terdahulu tidak meninggalkan apa-apa bagi generasi berikutnya, ar-Razi justru
berpandangan sebaliknya. Banyak hal telah diwariskan oleh generasi terdahulu,
yang sebagian di antara kesalahan-kesalahannya telah dikoreksi oleh ar-Razi.
Dalam hal ini ar-Razi disamakan dengan Bacon, seorang tokoh perpaduan antara
fisikawan dan filosof yang mempropagandakan pendekatan eksperimentatif serta
mempercayai teori kemajuan ilmiah yang kontinyu.[21]
C. Konsep Manusia,
Ar-Razi membangun filsafat manusianya berdasarkan hasil pengembangan pemikiran
para filosof Yunani, terutama Sokrates, Plato dan Aristoteles, dipadukan dengan
khazanah pemikiran yang berkembang pada masanya. Berbagai khazanah pemikiran
tersebut selanjutnya dikoreksi kembali berdasarkan hasil penelitiannya sendiri,
yang akhirnya membentuk sumbangan pemikiran orisinil ar-Razi.
Ar-Razi disebut sebagai peletak dasar filsafat manusia secara menyeluruh (falsafah
al-insaniyyah asy-syamilah), yang memandang manusia secara holistik, mulai
dari struktur biologis, emosi, intelegensi, serta potensi-potensi lain yang
dapat dibina agar menjadi manusia mulia. Pandangan tersebut terangkum dalam dua
tinjauan, yaitu; dari segi organisme atau biologis yang melahirkan Pengobatan
Fisik (at-Tibb al-Jasadi), serta dari segi psikis dan moral yang
melahirkan Pengobatan Ruhani (at-Tibb ar-Ruhani).[22]
Pemikiran ar-Razi tentang manusia didasarkan pada konsep tiga macam jiwa (tsalatsa
an-nufus) Plato, dipadukan dengan pendapat pemikir-pemikir lain, khususnya
Sokrates dan Aristoteles. Struktur kepribadian manusia terbangun oleh ketiga
macam unsur jiwa tersebut, yaitu:
1.
Unsur jiwa rasional dan ketuhanan (an-nafs
an-natiqah wa al-Ilahiyyah)
2.
Unsur jiwa amarah dan hewani (an-nafs
al-ghadlabiyyah wa al-hayawaniyyah)
Masing-masing unsur jiwa tersebut menyiratkan potensi dasar yang memiliki
manusia sebagai penopang kepribadiannya. Ketiganya menunjukkan gambaran
kepribadian manusia secara utuh menurut potensi-potensi dasar yang dimiliki.
Kepribadian manusia terbentuk dari cara bagaimana manusia memainkan ketiga
potensi tersebut. Kecenderungan ke salah satu potensi akan membentuk corak
kepribadian tertentu.
Jiwa rasional dan ketuhanan (an-nafs an-natiqah wa al-Ilahiyyah)
membekali manusia dengan potensi mengembangkan daya pikir ke arah kebenaran,
yang muara akhirnya adalah pencapaian keyakinan tentang Tuhan. Ar-Razi
mengembangkan pandangan ini berdasarkan pemikiran Aristoteles, yang menempatkan
jiwa rasional juga sebagai unsur al-Uluhiyyah dalam diri manusia. Unsur an-natiqah
bersifat kekal karena memiliki substansi khusus (jauhar khass), dan
merupakan harkat dan martabat tertinggi manusia yang mencerminkan hakekat
manusia itu sendiri.
Dua unsur jiwa lainnya (an-nabatiyyah dan al-ghadlabiyyah)
bersifat temporal dan terbatas, mengingat keberadaannya hanya sebagai
aparat
(al-alah) dari unsur yang pertama. Meski kedua unsur tersebut memiliki
keterbatasan, namun keberadaannya sangat penting guna menopang
jiwa an-natiqah.
Jiwa an-nabatiyyah wa asy-syahwaniyyah berfungsi memberi makan tubuh
termasuk otak (ad-dimag), tempat jiwa rasional bersemayam dan
menjalankan fungsinya. Dalam tubuh manusia, otak menjadi instrumen pertama (awwal
alah wa adah) bagi jiwa rasional. Sedangkan fungsi jiwa
al-ghadlabiyyah
adalah membantu jiwa rasional mengekang jiwa nafsu agar tidak menguasai jiwa
rasional.[24]
Berbeda dengan Aristoteles yang memandang kerja akal dalam otak semata
berlangsung secara mekanis, ar-Razi memandang adanya peran serta unsur lain,
yang bertempat di dalam otak (al-jauhar al-hal fih). Unsur tersebut menggerakkan
fungsi-fungsi otak melalui susunan saraf pusat, sehingga antara akal dan otak
terjalin hubungan fungsional. Dengan perantaraan fungsi-fungsi otak yang
mengantisipasi suatu bayangan, akal memproyeksikan suatu gambaran sebelum
menjadi kenyataan. Setelah gambaran itu terwujud seperti gambaran semula,
seseorang baru dapat menyadari bahwa daya akal mampu meramalkan sesuatu yang
pernah digambarkan atau diperkirakan sebelumnya.[25]
Jiwa an-natiqah merupakan unsur Ilahiyyah, sebagai hasil pancaran
akal universal (al-‘aql al-kulli) dari Allah SWT melalui pancaran cahaya
(al-anwar al-mudi’ah). Akal universal ini memancarkan jiwa universal (an-nafs
al-kulliyah), yang kemudian memancarkan jiwa rasional (an-nafs
an-natiqah) atau akal (al-‘aql). Selanjutnya jiwa rasional ini
mencari bentuk materi, berupa tubuh manusia, disertai unsur-unsur kehidupan
yang disebut unsur tumbuhan dan unsur hewan (an-nafs nabatiyyah dan an-nafs
al-hayawaniyyah). Unsur-unsur ini membentuk daya-daya yang mampu
mengantarkan manusia kepada nilai-nilai kebaikan mendekati kesempurnaan Allah
SWT. Pendidikan dan pengajaran akan membantu menajamkan daya berfikir (an-natiqah),
yang dapat dijadikan perangkat pengendali untuk dapat bersikap dan berperilaku
sesuai dengan sifat-sifat Allah SWT (takhalluq bi akhlaqi al-Ilah).
Ar-Razi menekankan perlunya keseimbangan berbagai unsur kejiwaan yang ada.
Kondisi sehat (as-sihhah) secara medis menjadi ukuran kestabilan pribadi
yang nantinya sangat menentukan optimalisasi daya pikir. Untuk itu diperlukan
perlakuan diri secara adil (ta’dil af’al an-nufus). Kekurangan
dalam jiwa rasional terjadi manakala seseorang tidak sempat berfikir, merenung
dan memperhatikan keagungan alam beserta isinya, tidak menaruh perhatian
terhadap kenyataan hidup sesudah mati, serta lebih dikuasai hawa nafsu.
Kelebihan dalam jiwa rasional terjadi manakala jiwa nafsu diabaikan sama
sekali, sehingga mengacaukan temperamen tubuh, di antaranya di tandai dengan
munculnya depresi.[26]
Jiwa berkembang dan nafsu (an-nafs an-nabatiyyah atau an-nafs
asy-syahwaniyyah) merupakan potensi biologis, yang dikembangkan dari anima
vegatativanya Plato. Unsur ini dipahami sebagai unsur alami (at-tabi’ah)
yang mendorong manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan alamiah, seperti makan (al-istigza),
tumbuh (an-numuww), berkembang (an-nusyu’) dan mempertahan- kan
jenisnya (ad-difa’ ‘an al-jins).
Dorongan-dorongan biologis tersebut berhubungan erat dengan organ hati (al-kabid)
yang berfungsi mengendalikan perkembangan dan pertumbuhan, karenanya jiwa nafsu
secara keseluruhan menjadi sifat pembawaan (mazaj) hati.[27]
Keterkaitan antara dorongan-dorongan biologis dengan organ hati didasarkan atas
adanya saling reaksi antara kebutuhan fisik dan aktifitas organ biologis,
khususnya hati (qalb). Dalam tinjauan ilmu kedokteran dewasa ini, hati
berfungsi mengatur keseimbangan kimia dalam tubuh. Bila terjadi
ketidak-seimbangan kimiawi dalam tubuh, maka hati segera memberikan reaksi
dengan mengeluarkan zat kimia tertentu melalui organ-organ di sekitarnya,
seperti kelenjar empedu dan pankreas.[28]
Kebutuhan-kebutuhan biologis ini menuntut untuk dipenuhi secara memadai, dalam
arti tidak kurang dan juga tidak berlebihan. Kekurangan atau kelebihan
pemenuhan kebutuhan tersebut akan berdampak buruk pada kesehatan. Pemenuhan
kebutuhan secara berlebihan dapat dikategorikan sebagai kecenderungan hidup hedonis
yang dapat berakibat negatif pada keseimbangan tubuh. Demikian halnya bila
pemenuhan kebutuhan tersebut kurang dari porsi yang semestinya, maka
keseimbangan tubuh akan terganggu. An-Nafs al-natiqah akan berperan
optimal bila didukung pemenuhan kebutuhan biologis dalam jumlah yang cukup.[29]
Pandangan ini merupakan jalan tengah yang ditempuh ar-Razi guna menjembatani
pemikiran Sokrates dan Plato. Sokrates lebih condong pada sikap mengurangi
kebutuhan dengan mengambil batas minimal (al-hadd al-asfal), sementara
Plato cenderung pada sikap berlebihan, dan berusaha memenuhi batas maksimal (al-hadd
al-a’la).[30]
Adapun unsur an-nafs al-ghadlabiyyah wa al-hayawaniyyah di kembangkan
ar-Razi dari pemikiran Plato yang dikenal dengan anima sensitive,
yang diartikan dengan sikap agresif. Unsur ini berperan sebagai pengendali
keinginan-keinginan an-nafs asy-syahwaniyyah yang condong pada
kesenangan-kesenangan inderawi (talaban li al-malazz). Unsur al-ghadlabiyyah
wa al-hayawaniyyah mengantarkan manusia pada pertimbangan moral, dengan
memunculkan sikap-sikap yang biasa dijadikan pertimbangan moral. Sikap-sikap
tersebut adalah sikap jantan atau ksatria (al-hamiyyah), harga diri (al-anafah),
serta berani (an-najdah).[31]
Sikap kesatria (al-hamiyyah) merupakan daya agresifitas yang mampu
mendorong manusia maju ketika merasa memiliki kekurangan (al-ghadlab ‘inda
al-ihsas bi an-naqas). Sikap harga diri (al-‘anafah) mendorong
manusia menjaga diri dari hal-hal yang merendahkan martabat (taraffu’
an-nafs ‘an al-umur ad-dani’ah). Adapun sikap berani (an-najdah)
memberikan sikap percaya diri, menghindari rasa takut dan rasa gentar (siqqah
an-nafs ‘inda al-mukhawif hatta la yujawwiruha faza’).[32]
Unsur an-nafs al-ghadlabiyyah
bertempat pada organ jantung (al-qalb), yang memompakan panas (al-hararah)
dan temperamen (hararah an-nabd). Hal ini dapat diamati dari reaksi
fisik atas gejala psikis pada diri manusia yang seringkali ditunjukkan dengan
debar jantung. Kestabilan kepribadian akan terbentuk bila unsur an-nafs
al-ghadlabiyyah diberlakukan secara seimbang (adil). Kelebihan sikap al-hamiyyah
dapat mengakibatkan munculnya sikap membanggakan diri (al-kibr), yakni
sikap ingin selalu menang sendiri (hubb al-ghalabah), serta tinggi hati
dan tidak rela dikalahkan orang lain (al-isti’la’).[33]
Ar-Razi menyajikan konsep manusia dengan menempatkan suprioritas akal, namun
tetap memberi tempat bagi unsur-unsur alami (at-tabi’i) menjalankan
fungsinya secara wajar. Pengendalian unsur an-nabatiyyah
mengintegrasikan kedua unsur sebelumnya dengan pertimbangan-pertimbangan moral.
D. Metafisika Menurut Ar-Razi,
Pemikiran metafisika ar-Razi dituangkan dalam karyanya al-Ilmu al-Ilahi,
namun karya tersebut tidak diketemukan lagi selain dalam bantahan para
kritikusnya, sebagaiamana yang dapat dikumpulkan Kraus dalam Al-Rasa’il
Falsafiyyah, pada bagian min Kitab al-Kitab al-Ilahi. Maqalah fi
ma ba’da at-tabi’ah dan al-Qaul fi al-Qudama al-Khamsah. Filsafat
ar-Razi terkenal dengan doktrin lima hal yang kekal (al-Qudama
al-Khamsah) yang menyajikan beberapa persoalan sekitar ruang, kehampaan
waktu, materi, perpindahan jiwa, kenabian, kebahagiaan, dan Manichaisme.[34]
Ar-Razi tidak mengikuti aliran filsafat tokoh tertentu secara konsisten.
Abdurrahman Badawi menyebutnya tidak memiliki sistem filsafat yang teratur (no
organized system of philosophy).[35]
Dalam beberapa kesempatan ar-Razi menyebut Plato sebagai imamnya, tapi
ternyata tidak seluruh pemikirannya diterima. Pemikiran Aristoteles, Galen,
atau Sokrates, yang banyak dikritik, dalam kesempatan lain justru dikembangkan
dan dipadukan satu sama lain.
Kalangan ilmuan klasik menisbatkan doktrin al-qudama al-khamsah pada
ajaran as-Sabi’iyyah dan Harraniyyah yang berkembang di sebuah
pusat studi pra Islam. Belakangan diketahui bahwa doktrin tersebut merupakan
pengaruh filosof Yunani periode awal, terutama Demokritos dan Phythagoras.[36]
Melalui doktrin lima hal yang kekal (al-qudama’ al-khamsah), ar-Razi
menyatakan bahwa lima hal yang kekal, yakni Tuhan (al-Bari Subhanah),
ruh universal (an-nafs al-kulliyah), materi pertama (al-huyula
al-awwalah), ruang mutlak (al-makan al-mutlaq) dan waktu mutlak (az-zaman
al-mutlaq).[37]
1.
Tuhan,
Dasar keyakinan atas kekekalan Tuhan adalah keyakinan bahwa adanya alam ini
karena ada yang menciptakan. Ar-Razi tidak mengajukan pembuktian tentang
kekekalan Pencipta. Tidak sebagaimana Plato yang memandang dunia diciptakan dan
abadi untuk selamanya (everlasting), ar-Razi memberikan proposisi
aksiomatik dengan mempercapai bahwa dunia ini diciptakan dalam interval waktu
tertentu dan bersifat sementara (transient).[38]
Pencipta alam tiada lain selain Zat Yang Maha Kekal (Qadim), Maha Kuasa,
Maha Tahu, Maha Pandai dan Maha Bijaksana (tam al-‘ilm wa al-hikmah),
Yang tiada lalai dan alpa (la sahw wa gaflah), yaitu Tuhan Yang Maha
Esa. Kehidupan terpancarkan dari hadirat Maha Pencipta laksana cahaya yang
terpencar dari sinar mentari. Tuhan memancarkan karunia-Nya berupa kesempurnaan
akal serta jiwa yang menerangi kehidupan hingga dapat mengatasi kebodohan,
sekaligus mengatasi kepasifan (la fi’l wa la infi ‘al) materi.[39]
2. Ruh (Jiwa Universal),
Di antara lima hal yang kekal terdapat dua dzat yang hidup dan bergerak
(hayyani fa ‘ilani), yakni Tuhan dan ruh (al-Bari wa an-Nafs),
ar-Razi tidak berusaha membuktikan kekekalan ruh maupun Tuhan. Ruh dipandang
sebagai keabadian lain selain Tuhan karena berasal dari jiwa universal yang
bersifat kekal. Ruh adalah substansi murni, tak tersusun substansi lain (jauhar
mujarrad). Ruh memiliki sifat bodoh., dan hanya dapat mengetahui sesuatu
berdasarkan pengalaman. Kebodohan menyebabkan ruh tertarik kepada materi (tamil
ila at-ta’alluq bi al-huyula) dan berupaya membuat bentuk darinya untuk
memperoleh kebahagiaan kebendaan (tathlub al-ladzdzah), tetapi materi
menolak.[40]
Tuhan tahu bahwa ruh membutuhkan kesenanagan materi. Tuhan yang semula tidak
berkehendak mencipta kemudian membentuk alam untuk menolong ruh agar ia beroleh
kesenangan materi (al-ladzdzah) di dalamnya. Namun demikian bukan
berarti kehendak Tuhan berlangsung atas dorongan pihak lain (ruh). Di tengah
alam Tuhan menciptakan bentuk-bentuk yang kuat, termasuk manusia agar ruh dapat
bertempat di dalamnya serta memperoleh kebahagiaan jasmani.[41]
Kesenangan dalam dunia benda tidak akan membebaskan ruh dari rasa sakit (la
tanfakk ‘an al-alam). Kebodohan menyebabkan ruh tidak mengetahui bahwa
kesenangan sejati yang bebas dari penderitaan (al-ladzdzah al-khaliyyah ‘an
al-alam) bukan terletak pada materi, tapi ketika terbebas dari jeratan
materi. Guna mengingatkan ruh agar senantiasa menyadari dunia sejatinya. Tuhan
memancarkan Jiwa Rasional berupa kecerdasan akal (al-‘aql/intelegensi).[42]
Iluminasi akal atas ruh menyadarkannya atas tempat kebahagiaan sejati, yang
dapat dicapai dengan mempelajari filsafat sebagai pengasah pikiran. Keyakinan
atas keabadian, doktrin perpindahan jiwa (metempsvchosis) serta peran
filsafat sebagai jalan tembus (path way) ke arah purifikasi dan
pembebasan jiwa dari belenggu materi (tubuh) merefleksikan pengaruh
pemikiran platonic-phytagorean.[43]
Dengan mempelajari filsafat, ruh dapat mengetahui dunia sejatinya, memperoleh
pengetahuanm, serta dapat membersihkan diri. Bila tidak demikian, maka ruh
tidak akan selamat dari keadaan buruk, tidak dapat kembali ke tempat asalnya,
serta akan selalu tinggal di alam materi. Ruh akan tetap di dunia materi hingga
disadarkan kembali oleh filsafat tentang rahasia dirinya. Bila seluruh ruh
sudah bersih, alam ini akan hancur, dan seluruh materi kembali ke tempat
asalnya.[44]
Tuhan mengarahkan pada kemurnian ruh dari materi melalui penganugerahan akal,
sebab keterperangkapan ruh pada materi merupakan bibit-bibit kejahatan.
Pembebasan ruh dari unsur-unsur materi berarti menghapus keraguan akan
kekekalan dunia sekaligus menghapus kejahatan. Namun demikian, bukan berarti
kejahatan akan hapus sama sekali, dikarenakan keterperangkapan ruh pada materi
tidak mungkin sepenuhnya dihilangkan.
3. Materi Absolut,
Pandangan ar-Razi tentang materi mengacu pada pandangan platonic dan
pra-Sokratik. Pandangan ar-Razi cenderung atomistis, terutama lebih dekat pada
pemikiran Demokritos.[45]
Ar-Razi meyakini bahwa alam dan segala yang ada di dalamnya diciptakan Allah
dari sesuatu (unsur-unsur) yang lain. Ia menolak pandangan creation ex
nihilo, sebab menurutnya segala sesuatu pasti diciptakan dari bahan
atau materi lain.
Setiap materi tersusun oleh partikel-partikel atom yang mempunyai volume
tertentu hingga dapat disusun dan dibentuk. Atom-atom tersebut menghasilkan
lima unsur, yaitu: bumi, udara, api, air dan unsur eter (celestial element).
Sifat-sifat unsur tersebut; terang, berat, buram, padat, dan transparan,
digunakan untuk menjelaskan komposisi materi berdasarkan proporsi unsur dan
kehampaannya. Unsur bumi (jauhar al-ardl) tersusun oleh substansi yang
lebih padat. Substansi yang lebih renggang menjadi unsur air (jauhar al-ma’),
kemudian lebih renggang lagi unsur udara (jauhar al-hawa’), dan unsur
api (jauhar al-nar) merupakan unsur paling renggang.[46]
Hancurnya materi ataupun dunia ini tidak akan menjadikan substansi penyusunnya
musnah tanpa bekas, melainkan hanya menjadi serpihan-serpihan materi yang lain.
Bila serpihan tersebut terus terurai, maka akan sampai pada partikel atom,
partikel terkecil yang tidak bisa dibagi lagi. Konsep kekekalan materi ini
tidak bertentangan dengan barunya alam, sebab penciptaan alam dimulai sejak
penyusunan materi, bukan sejak penciptaannya. Karena itulah materi dipandang
sebagai sesuatu yang kekal.[47]
Kekekalan materi dicoba dibuktikan oleh ar-Razi dengan memberikan dua
argumentasi:
1.
Penciptaan dari tiada adalah
mustahil. Berdasarkan pengamatan (al-istiqra’ al-kulli), segala sesuatu
terjadi dengan susunan, melalui proses, bukan dengan cara sekejap mata. Karena
itu Tuhan tidak mungkin membuat sesuatu tanpa bahan (creation ex nihilo).
2.
Bila alam ini
diciptakan, tentu saja ada Penciptanya. Tuhan menciptakan sesuatu dengan materi yang terbentuk.
Kekuatan Pencipta (Tuhan) diperlukan guna membentuk dan menyusun materi itu.
Jika Penciptanya kekal, maka materi yang dikenai kekuatan Pencipta juga kekal.[48]
4. Ruang,
Berbeda dengan Aristoteles, ar-Razi memahami ruang (al-makan/locus)
sebagai konsep abstrak, di mana ruang tidak dapat dipisahkan dari tubuh (inseparable
from body).[49]
Setiap wujud (al-mutamakkin) memerlukan ruang sebagai tempat berwujud,
karena itu ruang pasti ada. Ruang merupakan tempat bagi setiap yang wujud maupun
yang bukan wujud. Karena materi yang menempati ruang bersifat kekal, maka ruang
tempat materi berada juga kekal.
Ar-Razi membedakan ruang ke dalam dua bagian, yaitu ruang relatif (al-makan
al-mudaf) dan ruang absolut (al-makan al-mutlaq). Ruang relatif
adalah ruang yang terbatas, yang adanya tergantung pada adanya wujud yang
menempati. Bila tidak ada yang menempati, maka ruang itu tidak ada.[50]
Sedangkan ruang absolut adalah ruang yang ditempati oleh seluruh materi. Ruang
absolut merupakan tempat beredarnya materi, baik sebelum atau sesudah
diciptakan, bahkan setelah hancurnya alam menjadi materi-materi yang lain.
Keberadaan ruang ini tidak tergantung adanya benda-benda angkasa. Tanpa benda
apapun ruang tetap ada. Ar-Razi mencontohkan ruang absolut dengan sebuah bejana
yang berisi benda-benda. Bila benda-benda tersebut diangkat dari bejana, maka
bejananya tidak terangkat.
Ar-Razi juga menjadikan kekekalan materi sebagai dasar keyakinan atas kekalnya
ruang. Ruang adalah tempat adanya wujud fisik (al-jism). Setiap yang
wujud pasti menempati ruang, sedang yang di luar wujud tersebut ada ruang dan
bukan ruang, karena itu yang menempati ruang terdiri dari yang wujud dan yang
bukan wujud. Jika bukan ruang, sesuatu itu pasti wujud yang terbatas, dan jika
bukan wujud sesuatu itu tentu ruang. Wujud itu terbatas karena ia ada dalam
ruang, mengingat ruang itu tidak terbatas, dan ketidakterbatasannya menunjukkan
bahwa sesuatu itu kekal (qadim).[51]
5. Waktu Absolut,
Waktu adalah substansi yang mengalir (jauhar yajri), merentang (mumtadd)
dan kekal (qadim). Waktu tudak dapat dipahami sebagai jumlah gerak benda
(‘adad harakah al-jism) sebagaimana pendapat Aristoteles dan para
pengikutnya. Dua benda yang begerak dalam waktu yang bersamaan tidak mungkin
menghasilkan jumlah waktu yang berbeda. Ini selaras dengan Transyahri yang
memandang bahwa zaman (az-Zaman), keberlangsungan (ad-dahr) dan
materi (al-maddah) tidak lain hanyalah nama yang maknanya kembali pada
substansi yang satu.[52]
Ar-Razi membedakan waktu menjadi dua: waktu mutlak atau waktu absolut (ad-dahr)
dan waktu terbatas (al-mahsur). Waktu yang terbatas (al-waqt/time)
ditentukan berdasarkan pergerakan falak, seperti terbit dan tenggelamnya
matahari, sehingga bisa diukur (measurable). Perhitungan atas gerakan
planet tersebut menyebabkan waktu terbatas dapat dibagi-bagi menjadi
segmen-segmen waktu, mulai dari hari, bulan, tahun dan seterusnya. Waktu yang
hanya ditentukan berdasarkan rotasi maupun gerak bola bumi mengitari matahari
merupakan waktu terbatas.[53]
Adapun waktu absolut yang disebut juga dengan al-dahr (keberlangsungan)
akan senantiasa kekal dan bergerak, tanpa harus tergantung pada pergerakan
falak. Waktu absolut ini digunakan ar-Razi untuk menjelaskan waktu sebelum dan
sesudah diciptakan dan fananya alam ini.[54]
Waktu mutlak dapat dipahami dari kekekalan gerak dan perubahan materi dalam
ruang yang tak terbatas dan kekal, karena itu waktu absolut juga kekal.
E. Pandangan ar-Razi tentang Masalah-masalah
Keagamaan,
Ar-Razi banyak dinilai sebagai filosof yang anti agama, dikarenakan berbagai
kritik dan pemikirannya banyak dinilai berseberangan dengan dogma-dogma
fundamental agama. ‘Uwaidah dan al-‘Abd menilai kritik-kritik tersebut pada
umumnya cenderung mengedepankan sikap emosional, sebagaimana telah menjadi
kebiasaan dalam sejarah kebebasan berfikir kaum muslimin. Tidak ditemukan data
yang menunjukkan bahwa ar-Razi mengingkari agama, ajaran ketuhanan, masalah
keakheratan (al-ma’ad), wahyu, maupun kenabian, selain dari tulisan para
lawan polemiknya.[55]
Ar-Razi tidak terikat pada salah satu aliran (Mazhab) keagamaan yang
berkembang pada masanya, baik Syi’ah, Mu’tazilah, ataupun mazhab-mazhab
mutakallimin lainnya. Encyclopedia Britannica, sebagaimana dikutip
Abdullah Faruq Nasution mengindikasikan adanya sebagian kalangan yang menilai
ar-Razi lebih cenderung pada Ikhwan as-Safa.[56]
Kepercayaan ar-Razi terhadap kemampuan akal menjadikan pandangannya tentang
agama juga didasarkan pada pendekatan rasional. Ajaran-ajaran agama tidak
dipahami sebagai dogma-dogma mati yang harus diterima begitu saja. Keyakinan
atas kebenaran dan urgensi agama didasarkan pada alasan-alasan yang bisa
diterima akal sehat. Karena itu, ar-Razi banyak menyoroti dogma-dogma agama
yang dipandang bertentangan dengan akal sehat maupun petunjuk Allah yang
sebenarnya, semisal kema’shuman Imam Syi’ah. Ar-Razi mengajak manusia
untuk membebaskan diri dari hal-hal irasional, sebagaimana tujuan studi
filsafat semula, yakni menemukan kebenaran dan membebaskan manusia dari
mitologi supernaturalisme di bawah bendera rasionalisme.[57]
Ar-Razi menolak pengetahuan atau pemikiran yang disandarkan pada pendekatan
intuitif. Karunia Tuhan berupa akal harus dimanfaatkan untuk meraih segala yang
terbaik bagi dirinya. Pemahaman ajaran agamapun harus didasarkan atas
pertimbangan akal, sehingga kecenderungan-kecenderungan beragama yang mengarah
kepada sikap-sikap irasional dapat ditepis. Kritik semacam ini dilontarkan
terhadap sikap irasional masyarakat dalam kehidupan beragama yang cenderung
patuh secara buta kepada imamnya, tanpa mempelajari sumber asli sebagaimana
diajarkan oleh agama. Karena itu, bisa dipahami keprihatinan ar-Razi melihat keberagamaan
yang tidak dilandasi pendekatan rasional, hingga menjadikan keberadaan agama
justru menyebabkan perpecahan dan bahkan pertumpahan darah antar umat manusia.[58]
Kritik serupa juga dilontarkan pada sikap berlebihan dalam beragama, yang lebih
banyak didominasi gejolak perasaan dari pada akal pikiran.[59]
Hal ini sering muncul di antaranya dalam bentuk perasaan was-was dalam bersuci
(at-Thaharah) dan ibadah-ibadah lainnya. Tuhan Maha Tahu pada
keterbatasan manusia, karena itu aturan Tuhan tidak harus diterima secara kaku,
apalagi berlebihan. Kesucian yang dituntut agama tidak harus diartikan dengan
steril dari kotoran atau kuman, sebab hal itu hanya akan menyulitkan serta
menimbulkan keragu-raguan. Karena itu, persoalan-persoalan keagamaan harus
dihadapi dengan akal sehat bukan dengan perasaan semata.
Dalam masalah keberagamaan, akal dipandang memadai untuk menjadi perangkat
utama guna mengantarkan manusia pada keyakinan tentang Tuhan. Pengetahuan
tentang Tuhan adalah persoalan terpenting dalam kehidupan, sebagai tujuan
terakhir dan tertinggi yang harus dicapai manusia. Tuhan dalam pandangan
ar-Razi adalah Tuhan yang rasional dan masuk akal, bahkan mungkin Tuhan yang
memiliki rasa humor.[60]
Ar-Razi menggambarkan Tuhan sebagai dzat yang diharap pahala dan ditakuti
siksa-Nya. Tuhan menyaksikan setiap gerak perbuatan kita (Nasirun lana),
mengasihi kita (rahim bina), tidak mempunyai keinginan untuk menyakiti
kita, tidak menyukai kejahatan dan kebodohan ada pada kita. Tuhan akan
menimpakan siksa kepada yang selayaknya menerima sesuai dengan kadar
kesalahannya. Baik buruknya kehidupan sesudah mati (al-hayah ba’da al-maut)
tergantung perjalanan kita bersama jasad selama di dunia.[61]
Keyakinan ar-Razi akan kebesaran Allah dan tuntutan terhadap moralitas
kemanusiaan tidak didasarkan pada dalil-dalil wahyu, melainkan dengan penalaran
sendiri yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar keislaman. Ar-Razi
tidak mengingkari kenabian beserta syari’at yang dibawanya, menganjurkan tidak
takut mati serta tidak mengingkari agama dengan seperangkat tatanan moralnya,
karena amal baik akan mendapat balasan surga dan kejahatan akan mendapat siksa.[62]
Firman Tuhan dalam kitab suci didudukkan sebagai standar tatanan moralitas yang
mengatur hubungan manusia dengan Pencipta, diri dan masyarakatnya. Tuntutan
moralitas merupakan keniscayaan menurut pandangan semua orang berakal dan
setiap ajaran agama.[63]
Para nabi sebagai pembawa syari’at, seperti halnya para filosof merupakan
manusia terbaik yang mampu meningkatkan kecerdasan maupun moralitas diri secara
optimal, sehingga dapat melahirkan ajaran serta mencapai keutamaan yang patut
dijadikan teladan. Manusia dituntut untuk mampu mendorong dirinya mengikuti
jejak orang-orang utama (ar-rijal al-fadlilin) semacam itu. Namun
demikian nabi hanyalah manusia biasa (basyara). Pandangan ar-Razi
tentang kesamaan potensi dasar manusia menjadikannya cenderung selektif dalam
menyikapi keberadaan nabi. Bila mereka berbicara tentang sesuatu yang tidak
dapat dibenarkan secara akal maupun moral maka tidak perlu diikuti.[64]
Penghormatan terhadap nabi tidak disamakan dengan pengkultusan atas
pengistemawaan seseorang atas orang lain. Tuhan mengkaruniakan potensi yang
sama pada setiap manusia, di mana setiap manusia dilahirkan dengan kecerdasan
yang sama. Kesempatan belajar dan kemauan (kepribadian) yang berbeda
menyebabkan peluang seseorang untuk mengembangkan kemampuan akal pikirannya
menjadi berbeda. Pandangan tentang potensialitas akal ar-Razi menyiratkan
doktrin teologis tersendiri, yang dalam hal ini Muhsin Mahdi menulis:
“Doktrin teologinya radikal, bahwa semua pengetahuan dapat diperoleh oleh
manusia sebagai manusia. Ia berpendapat bahwa akal manusia merupakan
satu-satunya jalan untuk mengetahui alam fisik serta mana yang baik dan yang
buruk. Sedangkan semua sumber pengetahuan lain hanyalah diperoleh hanyalah
berupa pretensi dan kecurangan”.[65]
Tuhan ‘Azza wa Jalla telah menyerahkan segala kebutuhan manusia yang
bersifat partikuler (al-juz’iyyah) kepada manusia sendiri, seperti
bertanam, menenun dan kemampuan serupa untuk memenuhi penghidupan (ma’isyah).[66]
Berbagai penemuan dan penulisan buku-buku ilmiah seperti kedokteran, geografi
dan logika diperoleh melalui pemanfaatan kecerdasan pikiran manusia sendiri,
bukan melalui campur tangan pewahyuan. Ilmu pengetahuan dapat diperoleh hanya
melalui pemanfaatan akal (logika), tradisi para pendahulu yang diwariskan
secara turun temurun berdasarkan fakta-fakta akurat, serta tuntutan naluri
manusia sendiri.[67]
E. Etika (Filsafat Moral),
Pemikiran ar-Razi tentang etika dapat ditelusuri dalam karya at-Tibb
ar-Ruhani dan as-Sirah al-Falsafiyyah. Secara eksplisit
ar-Razi menyatakan bahwa penulisan at-Tibb ar-Ruhani ditujukan untuk
pembinaan moral (fi islah al-akhlak), namun dalam pengantar
terjemahannya edisi bahasa Inggris (The Spiritual Physick of Rhazes),
Arberry menilai kitab ini tidak dapat dikategorikan sebagai kajian filsafat
kelas tinggi, melainkan sekedar etika populer.[68]
Adapun penulisan as-Sirah al-Falsafiyyah lebih diorientasikan sebagai
pembenaran atas sepak terjang kehidupan ar-Razi sendiri dari sudut pandang
filsafat. Ar-Razi merasa perlu melakukan pembelaan atas berbagai celaan dan
tuduhan bahwa ia telah keluar dari tradisi filsafat yang sebenarnya, mengingat
pemikiran-pemikirannya banyak dinilai radikal.
Sebagaimana pemikiran filsafat ar-Razi pada umumnya, filsafat moralnya juga
tidak lepas dari pengaruh para filosof Yunani, khususnya Plato dan Galen. Ada
dugaan ar-Razi tidak membaca pemikiran Plato dari sumber aslinya, tetapi
melalui sumber kedua. Ia lebih banyak memahami pemikiran Plato berdasarkan
ulasan Galen,[69]
yang dicoba dikembangkan secara kreatif. Ar-Razi mengritik pemikiran para
filosof tersebut yang dipandang tidak sesuai, dan mengembangkan bagian lain
yang dia sepakati.
Orientasi moralitas ar-Razi bermuara pada moralitas ketuhanan, sebagimana yang
dikembangkan dalam filsafat Ego Iqbal. Pemikiran ini juga dipandang
memiliki hubungan dengan mistisisme al-Hallaj, hanya saja ar-Razi tidak
menggunakan konsep-konsep mistik dalam pemikirannya. Manusia adalah hamba
Tuhan, Zat Yang Maha Tahu, Maha Pandai, Maha Adil, Maha Pengasih lagi
Penyayang. Manusia sebagai hamba dituntut mampu meniru sifat-sifat Tuhan (at-tasyabuh
billah ‘Azza wa Jalla). Hamba yang paling disukai Tuannya (Allah Swt.)
adalah hamba yang paling mampu mengikuti jejak-Nya, Hamba yang paling dekat
adalah yang paling pandai, paling adil dan penuh belas kasih.[70]
Filsafat Moral ar-Razi tidak berbeda dengan pandangan kosmologinya yang
mengandung unsur-unsur atomisme, khususnya dari Epicurus. Sebagaimana kalangan
epicurianis, ar-Razi mendekati persoalan Etika dengan pendekatan naturalisme
dan empirisme,[71]
dan merupakan muslim pertama yang mengkaji masalah moral dari perspektif
kesehatan baik jiwa maupun raga. Goodman memandang sikap ar-Razi sebagai
kombinasi antara asketisme dan hedonisme (ascetic hedonism). Lebih
lanjut Goodman menyatakan:
“…Seperti halnya seorang yang suka makan dan minum, ar-Razi berpendapat bahwa
puncak kesenangan tidak berupa sensasi, tetapi kehidupan yang moderat, memenuhi
kebutuhan alamiah, tidak meleset jauh dari norma fisik alam yang sesuai dengan
lingkungan (milliu) kita”.[72]
Prinsip moralitas dalam pemikiran ar-Razi bertumpu dan diarahkan pada
keseimbangan hidup baik dalam diri pribadi maupun pergaulan kemasyarakatan.
Kepribadian yang baik ditentukan oleh keseimbangan berbagai kegiatan jiwa (ta’dil
al-af’al an-nufus).[73]
Paradigma yang ditawarkan ar-Razi ini berbeda dengan pemikiran para filosof
Yunani. Ia menolak pemikiran Sokrates yang spiritualistis kerena cenderung
mempelajari kehidupan manusia pada sistem metafisik. Ar-Razi juga menolak
pemikiran Plato yang cenderung idealis sehingga kurang berpijak pada kenyataan,
sementara pemikiran Aristoteles dikritik karena cenderung mekanistis, berpijak
pada mazhab biologi.[74]
Para filosof Yunani memahami unsur an-nabatiyyah sebagai daya berkembang
(generasi dan regenerasi), tapi ar-Razi menafsirkan dengan
asy-syahwaniyyah
yang menyimpan daya-daya kehendak maupun keinginan-keinginan manusia yang sehat
maupun tidak sehat. Suatu keinginan dipandang baik bila wajar dan pantas secara
sosial, serta memenuhi kriteria sehat (as-sihhah).[75]
Dalam hal ini ar-Razi menempatkan akal sebagai penilai serta pengendali
berbagai dorongan hawa nafsu. Karena itu persoalan kunci dalam kajian Etika
ar-Razi berpangkal pada dua masalah dasar, yakni kajian tentang akal dan
nafsu (zikr al-aql wa al-hawa), disertai cara-cara pemanfaatan keduanya.
Ar-Razi memandang bahwa pembinaan moral berarti upaya perbaikan karakter jiwa.
Kepribadian yang baik dapat dibangun dengan jalan menundukkan nafsu di bawah
kendali akal melalui berbagai latihan dan pendidikan.[76]
Pemikiran ini bertumpu pada konsep tiga macam jiwa (salas an-nufus)
dalam diri manusia: an-nafs an-natiqah wa al-Ilahiyyah, an-nafs
al-ghadlabiyyah wa al-hayawaniyyah, serta an-nafs an-nabatiyyah wa
an-namiyyah wa al-syahwaniyyah. Dalam perspektif moral, ketiga macam jiwa
tersebut dapat diungkapkan secara lebih sederhana menjadi faktor akal (ma
yuri al-‘aql) dan nafsu atau naluri (ma yuri al-hawa).[77]
Akal adalah laku intelektual yang memberi perkiraan dan pertimbangan tentang
berbagai hal beserta konsekwensinya, sehingga dapat dijadikan dasar pengambilan
keputusan. Pertimbangan akal menjadi sangat dominan dalam konsep moral ar-Razi.
Dalam kesempatan lain Goodman menyatakan:
“Analisa yang lebih dekat tentang akal, menurut ar-Razi terdapat sebab kecil
terhadap pengertian. Kalau akal akan mengubah kesenangan prinsip berlabuhnya
etika ar-Razi. Misalnya dalam konteks etika, menurutnya tidaklah hanya sekedar
sebuah standar pertimbangan, bukan bentuk pengekangan. Akal diutamakan karena
keutamaan-keutamaan yang dibawanya, guna dan manfaatnya, kapasitasnya
melindungi kita dari bahaya, memberi kita pertahanan serta melindungi supremasi
semua ciptaan (kreasi).[78]
Adapun nafsu dinyatakan sebagai kecenderungan alamiah dalam diri manusia,
berupa dorongan biologis maupun psikis untuk mencari kesenangan dan kelezatan
tanpa adanya pertimbangan tentang berbagai konsekwensi yang mungkin timbul.
Akal mampu memberi jalan keluar atas berbagai persoalan, serta dapat mengangkat
derajat manusia ke tingkat yang paling agung. Akal yang bersumber pada jiwa
rasional dan Ilahiyah memberikan pertimbangan dari aspek material maupun
spiritual, sehingga menjangkau berbagai konsekwensi duniawi maupun ukhrawi.[79]
Keberadaan akal di satu sisi memudahkan manusia memenuhi berbagai tuntutan
hidup. Di sisi lain, akal yang menyertai nafsu dan naluri menyebabkan manusia
menjadi makhluk yang tidak pernah merasa puas. Kelemahan fisik manusia
memungkinkannya mengembangkan kemampuan berfikir tentang sesuatu yang sudah,
sedang maupun belum dialaminya. Kemampuan manusia untuk berfikir, merenung, dan
berkhayal tentang sesuatu yang tidak dimiliki menyebabkannya mudah merasa
resah, tidak bahagia sebelum keinginan itu terpenuhi. Manusia juga menjadi
takut atau khawatir kehilangan sesuatu yang telah dimilikinya.[80]
Karena itu kebaikan untuk kelas manusia terletak pada pengendalian nafsu hingga
jiwa yang penuh nafsu terbiasa tunduk dan mengikuti jiwa rasionalnya. Kebaikan
yang hanya didasarkan pada pemuasan kesenangan dan nafsu jasmani adalah
kebaikan untuk kelas binatang (al-bahaim). Binatang hanya memiliki
kebutuhan untuk memenuhi nafsu secara bebas tanpa tuntutan tanggung jawab atau
konsekwensi tertentu yang harus ditanggung. Jiwa yang berkembang dalam diri
binatang hanya jiwa nafsu saja. Kelebihan fisik binatang kurang memberikan
kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berfikirnya. Karena itu kebaikan tidak
dapat didasarkan atas pemenuhan kesenangan badaniah belaka. Bila kebaikan
diukur dengan pemenuhan kepuasan jasmaniyah, maka binatang lebih mulia dari
pada manusia, bahkan lebih mulia dari Tuhan yang tidak memiliki nafsu jasmani.[81]
Kehidupan di dunia akan menentukan kehidupan sesudah mati (al-hayyah ba’da
al-maut), karena itu hidup tidak dapat dihabiskan untuk mengejar kenikmatan
jasmani (al-ladzdzat al-jasadiyyah) saja, tetapi ada tugas yang lebih
mulia, yakni meningkatkan potensi akal dengan cara mencari ilmu serta
mengamalkannya dengan jalan bertindak adil. Kedua tugas tersebut yang akan
membebaskan jiwa dari belenggu materi, ketika memasuki alam akhirat kelak.[82]
Pandangan moral ar-Razi memperlihatkan tidak adanya tendensi ke arah pembelaan
terhadap suatu agama, termasuk Islam, bahkan mereka yang tidak percaya adanya
kehidupan sesudah mati. Ar-Razi hanya menyajikan sikap hidup yang tetap optimis
sesuai dengan keyakinan masing-masing. Ini terlihat dalam penjelasannya perihal
takut mati (fi al-khauf min al-maut).
Ar-Razi menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk takut mati bagi orang yang
meyakini tidak ada kehidupan dan konsekwensi yang harus ditanggung setelah
mati. Bagi yang meyakini ada kehidupan setelah mati juga tidak perlu takut,
sebaliknya harus menjadikannya sebagai dorongan bagi dirinya untuk menjadi
manusia utama, yang senantiasa berada di jalan yang benar serta melaksakan
syari’at yang diajarkan agamanya, karena mereka telah dijanjikan keberuntungan,
kesenangan, serta kebahagiaan abadi di akhirat.[83]
Hidup tidak dapat dinikmati bila diliputi rasa takut dan kekhawatiran. Agar
manusia tidak terjebak pada kesenangan (al-ladzdzah) sesaat, perlu
upaya-upaya tertentu yang dapat menunjukkan ke arah kebahagiaan hakiki, di
antaranya dengan mengenali segi-segi kekurangan diri (ta’rif ar-rajul ‘uyub
an-nafsih). Manusia memiliki beberapa sifat dan kebiasaan merugikan dan
harus dihindari, seperti sombong (al-‘ujub), iri (al-hasad),
jahat (asy-syarr) serta mabuk-mabukan. Namun demikian ada sifat-sifat
tertentu yang harus tetap ada, tetapi dalam porsi yang tidak berlebihan,
seperti marah, kikir, khawatir, pemenuhan hasrat biologis, serta berdusta.[84]
Kebahagiaan sendiri diartikan sebagai kembalinya sesuatu yang hilang karena
kemadlaratan yang akan diperoleh bilamana akal berhasil mengendalikan berbagai
kecenderungan jiwa secara berimbang. Keseimbangan tersebut tercermin dalam cara
hidup seseorang di lingkungan masyarakatnya yang tidak hanya mengejar
kesenangan dunia (hedonis), serta tidak menghabiskan waktu untuk
kepuasan spiritual.
Prinsip keseimbangan juga menjadi dasar tata hubungan kemasyarakatan, mengingat
manusia dipandang sebagai makhluk sosial, yang tidak dapat hidup secara layak
tanpa bantuan orang lain. Manusia hanya mampu melakukan jenis pekerjaan
tertentu, yang karenanya kehidupan antar warga masyarakat hanya dapat
disempurnakan dan diorganisasikan dengan baik melalui kemauan untuk saling
menolong, bekerja sama, serta saling setia.[85]
Kerja sama antar anggota masyarakat harus didasarkan pada aturan yang jelas, di
mana masing-masing pihak memperoleh imbalan yang adil. Pelayanan yang diberikan
harus diimbangi dengan imbalan yang setimpal. Bila pelayanan atau imbalan yang
diterima kurang sepadan berarti terjadi pemborosan di satu pihak atau
perbudakan di pihak lain.[86]
Ar-Razi juga memandang perlunya efisiensi dan profesionalisme dalam menghadapi
hidup. Hidup harus dijalani secara efisien, dengan cara berhemat di antaranya
dengan menyimpan sebagian penghasilan (menabung) sebagai antisipasi menghadapi
masa-masa sulit. Cara menyimpan yang paling baik, paling tahan lama, paling
terhormat dan paling aman adalah dalam bentuk keahlian, utamanya keahlian yang
selalu diperlukan setiap bangsa atau negara.[87]
Kehidupan mulia (as-sirah al-fadlilah) dapat dibangun dengan
perbuatan-perbuatan mulia melalui proses belajar dalam kehidupan. Dengan
belajar pada kehidupan, manusia menjadi semakin bijak, sehingga mampu bersikap
adil, santun, murah hati, dengan beramal shalih, menjamin kebahagiaan bagi
semua orang, serta membebaskan diri dari ketidakadilan, tekanan, instabilitas
hukum, politik, dan sosial yang mengancam lingkungan masyarakatnya. Perbuatan
baik dengan sendirinya akan mendatangkan manfaat berupa kehormatan dan cinta
kasih masyarakat terhadap pelakunya.[88]
[1] Abdurrahman Badawi, Muhammad Ibn
Zakariya ar-Razi, dalam M.M. Sharif (ed), A History of Muslim Philosophy,
1963,Vol. I, Otto Harrassowitz, Wisbaden, hal. 435
[2] Di lembaga Maristan ini
Ar-Razi mengajar ilmu kedokteran dengan metode yang paling modern pada masa
itu, yaitu mengintegrasikan studi teori dengan studi lapangan, antara tempat
belajar ilmu kedokteran dan rumah sakit menjadi satu kesatuan. Metode studi
ilmu kedokteran Maristan menjadi standar kedokteran yang progressif dan orsinil
Islam, dimana pembelajaran ilmu kedokteran secara ilmiah dan praktik amaliah
secara langsung. Metode ini kemudian berkembang di Barat dan di Rimur. Ali
Al-Jumbulati, Dirasat al-Muqaranat fi at-Tarbiyah al-Islamiyah,
terjemahan Prof. HM. Arifin M.Ed., 1994, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 34
[4] Mehdi Nakosteen, Konstribusi
Islam atas Dunia Intelektual Barat, Terjemahan Joko S. Kahhar, 1996,
Risalah Gusti, Surabaya, hal. 213
[9] Pengistimewaan
ar-Razi terhadap akal secara khusus termaktub di awal karyanya at-Tibb
ar-Ruhani, dengan topik kajian tentang keutamaan dan keagungan akal (fi
Fadl al-‘Aql wa Madhih), Abu Bakar ar-Razi, At-Tibb ar-Ruhani,
dalam Lajnah Ihya’ at-Turas al-Araby, ed., Al-Rasail Falsafiyyah,
Mudafun ilaiha Qit’an min Kutubih al-Mafqudah, Beirut, Dar al-Afaq
al-Jadidah, 1973, hal. 17
[10] Ibid., hal. 18. Setelah penulis cermati dalam al-Qur’an tidak
satupun dijumpai kata al-Aqlu bentuk isim (kata benda), tetapi
banyak dalam bentuk kalimat fi’il (kata kerja). Oleh karena itu al-Aqlu
ini dipahami sebagai aktifitas intelektual yang bersumber dari qalbu,
yang pada hakikatnya disebut qalbun ya’qilun (hati yang berfikir).
[11] Abdullah Faruq Nasution
membandingkan konsep ar-Razi tersebut dengan ilmu anatomi modern yang keduanya
memiliki beberapa kemiripan. Menurut ilmu anatomi modern fungsi-fungsi otak
meliputi emosi, aksi, motivasi, imajinasi, seleksi dan koreksi. Abdullah Faruq
Nasution, Filsafat Manusia dan Implementasinya dalam Analisis Psikologi,
Studi Perbandingan antara Konsep al-Razi dan S. Freud, Jakarta,
Disertasi pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1995, hal. 69
[15] Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang
memberi perhatian relatif besar terhadap akal adalah al-Qur’an Surat
al-Baqarah: 13 dan 164, Surat Ar-Ra’d: 4, Surat Al-Hajj: 46, dan Surat Ar-Ruum:
24. Selanjutnya dapat disimak Sachiro Murata, The Tao of Islam,
terjemahan Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, Bandung, Mizan, 1996, hal. 314.
[16] Pandangan yang relatif moderat
berkenaan dengan kedudukan akal adalah penempatan otonomi akal secara penuh, di
mana wahyu hanya berperan menyemangati aktifitas akal dengan wawasan
moralitasnya. Musa Al-Asy’ari, “Filsafat Islam Suatu Tinjauan Ontologis” dalam
Irma Fatimah, ed., Filsafat Islam, Kajian Ontologis, Epistemologis,
Aksiologis, Historis, Prospektif, Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat
Islam, 1992, hal. 15-16.
[17] Abdurrahman Badawi, Muhammad Ibn
Zakariya al-Razi, dalam M.M. Sharif, ed., A. History of Muslim Philosophy,
New Delhi, Low Price Publications, 1995, hal. 439. Di antara doktrin keagamaan
yang ditolak ar-Razi adalah masalah kema’shuman (kesucian) Imam Syi’ah,
karena itu ia mendapat serangan keras khususnya dari kalangan Isma’illiyah.
Asy-Syaikh Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Abu Bakar ar-Razi
al-Failasuf at-Tabib, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993, hal. 50
[18] Selengkapnya dijelaskan dalam Abd
al-Latif Muhammad al-‘Abd, Usul al-Fikr al-Falsafi ‘inda Abi Bakr ar-Razi,
Kairo, Maktabah al-Anjilu al-Misriyyah, 1977, hal. 66-80 dan 140-144.
[20] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of
Religious Thought in Islam, Lahore: S.H. Muhammad Ashraf, 1963, hal.
122-123. Pendekatan ini menampakkan hasil nyata di beberapa bidang keilmuan
yang dikembangkannya, seperti metode klinisnya yang sangat baik di bidang
kedokteran. Semangat induktif ini pula yang mengantarkan ar-Razi pada berbagai
penemuan di bidang fisika maupun kimia. Badawy, Muhammad Ibn Zakaria,
hal. 440.
[21] Ibrahim Madkour, Filsafat Islam, Metode
dan Penerapan, Bagian I, terjemahan Yudian W., Asmin, Ahmad H.M.,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1993, hal. 111
[22] Ar-Razi, at-Tibb ar-Ruhani,
hal. 16. Tinjauan atas manusia dari segi fisik menjadi kajian tersendiri
dalam ilmu kedokteran ar-Razi dengan karya-karya monumental di bidang tersebut,
di antaranya al-Hawi yang dijadikan rujukan ilmu kedokteran Barat
hingga abad modern. Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam, New York; New American Library, 1970, hal. 46. Adapun
hubungan antara jasad (fisik) dan ruh, di samping dijelaskan dalam kajian
tentang jiwa dan moralitas, juga menjadi bahasan tersendiri dalam pemikiran metafisika.
[24] Akal menggunakan organ otak untuk
menjalankan fungsi-fungsi rasa (al-hiss), reaksi gerak (al-harakah),
kehendak (al-iradah), kemampuan menggambarkan sesuatu (at-takhayyul),
kemampuan menganalisa (az-zikr), Ibid., hal. 28
[28] Seorang yang terlambat makan akan
merasa lapar dikarenakan cairan asam yang keluar ke dalam lambung tidak
ternetralisir oleh zat makanan, melainkan bereaksi dengan rongga lambung hingga
menimbulkan rasa perih.
[30] Ar-Razi, as-Sirah
al-Falsafiyah dalam Lajnah Ihya’ at-Turas al-Araby, ed., Al-Rasa’il
Falsafiyyah, hal. 107
[34] Badawi,
Muhammad Ibn Zakaria, hal. 441. Karena doktrin Al-Qudama
al-Khamsah ini menyebabkan beberapa pemikir muslim menyebutnya sebagai al-Mulhid
(Atheis). Dalam Islam, yang Qadim hanyalah Allah SWT (Al-Bari).
Kalau dipermasalahkan; Allah menciptakan makhluk, berarti dalam proses
menciptakan ada “masa” (waktu). Maka “waktu” ini sebenarnya adalah Sunnatullah,
sehingga tidak dapat disebut waktu yang qadim.
[36] Penuturan tentang doktrin lima
hal yang kekal tidak dijumpai sebelum ar-Razi mengungkapkannya. Ar-Razi
sendiri menyatakan doktrin tersebut sebagai doktrin filsafat Yunani (mazhab
al-falasifah al-yunaniyyah) pra Aristoteles, Nasyir Khasru, Rd., al-Qaul
fi al-Qudama’ al-Khamsah dalam Lajnah Ihya’ at-Turas al-Arabi, ed., Rasa’il
Falsafiyyah, hal. 191-4.
[38] Majid Fakhri, A History of
Islamic Philosophy, New York, Columbia University Press, 1983, hal.
105.
[45] M. Saeed Sheikh, Studies in
Muslim Philosophy, Delhi, Adam
Publisher &
Distributors, 1994, hal. 70
[46] Ibid.,
hal. 71. Simak juga Khasru, ed., al-Qaul fi al-Huyula, dalam
Lajnah Ihya at-Turas al-‘Araby, ed., Rasa’il Falsafiyyah, hal.
221. Hal ini juga dijadikan dasar penjelasan mengenai gelap dan terang. Ibid.,
hal. 226-7.
[50] Khasru, ed., al-Qaul fi
al-Makan wa az-Zaman dalam Rasa’il Falsafiyyah, hal. 253.
Al-‘Abd., Usul al-Fikr, hal. 114
[52] Bagi Allah Swt. zaman (az-zaman)
menjadi dalil pengetahuan (‘ilm),
tempat
(al-makan) merupakan dalil kekuasaan (qudrah), gerakan (harakah)
menjadi dalil perbuatan (fi’il), dan jisim merupakan dalil kekuatan (quwwah).
Khasru, ed., al-Qaul fi al-Makan wa az-Zaman, hal. 266-7.
[53] Abu Hatim ar-Razi, A’lam
an-Nubuwwah, dalam Lajnah Ihya’at-Turas al-Araby, ed., Rasa’il
Falsafiyyah, hal. 304.
[55] Hampir semua kritikusnya menyertakan
sebutan al-mulhid dalam setiap ulasan tentang pemikiran ar-Razi. Dapat
dicermati tulisan-tulisan yang dikumpulkan Kraus sejak Maqalah fi ma ba’da
at-tabi’ah sampai dengan perdebatan ar-Razi dengan Abu Hatim ar-Razi, dalam
Rasa’il Falsafiyyah. Meski ar-Razi banyak menyebut eksistensi
Tuhan , tetapi tetap dituduh sebagai zindiq dan atheis (al-mulhid).Pengingkaran
terhadap ketuhanan dinisbatkan pada pengagungan ar-Razi atas akal
dan doktrin lima hal yang kekal. Pengagungan terhadap akal
dinilai mengabaikan keberadaan wahyu dan kenabian sebagai pilar
kepercayaan agama. Hubungan antara Tuhan dengan ruh dalam doktrin lima hal
yang kekal juga dinilai menegaskan ketidakberdayaan Tuhan (‘ajz al-Bari).
Selain itu masih ada beberapa tuduhan yang dialamatkan pada ar-Razi. Ibid.,
hal 66-72. Simak pula ‘Uwaidah, Abu Bakr ar-Razi, hal.
48-51
[57] Majid Fakhry, The Arab and The Encounter with Philosophy,
dalam Therese Anne Duart, ed., Arabic Philosophy and The West,
Washington; Centre Contemporary Arab Studies Georgetown University, 1988, hal.
1.
[58] Fakhry, A History of Islamic
Philosophy, hal. 105. P.M. Holt. Ann K. Lambton, dan Bernard Lewis, The
Cambridge History of Islam, Vol. II, London; Cambridge University
Press, 1970, hal 801-3
[60] Ibid., hal. 18. Simak juga A.J.
Arberry, Pendahuluan; Pengantar terjemahan edisi bahasa Inggris, dalam Muhammad
ibn Zakaria al-Razi, Pengobatan Ruhani, Terjemahan M.S. Nasrullah
dan Dedi Muhammad Hilman, Bandung, Mizan, 1994, hal. 18-9
[64] Ar-Razi mencontohkan sikap seorang
nabi yang dikisahkan mengirim seorang ajudannya ke medan perang agar dapat
menikahi isterinya. Al-‘Abd., Usul al-Fikr al-Falsafi, hal 142.
[65] Muhsin Mahdi, Al-Farabi and the
Foundation of Islamic Philosophy, dalam Parviz Morewedge, ed., Islamic
Philosophy and Mysticism, New York, Baruch College of State University
of New York, 1981, hal. 8
[69] Paul E. Walker, Platonisme in
Islamic Philosophy, dalam Studia Islamica, No. 79, Maret 1994,
hal. 5-9. Dalam beberapa kesempatan tulisan-tulisan ar-Razi memiliki kemiripan
secara redaksional dengan tulisan Galen, di antaranya tampak dalam kajian
tentang masalah kelezatan, Mehdi Mohaghegh, Notes on “Spiritual Physic”
of al-Razi, dalam Studia Islamica, No. 26, maret 1967, hal. 7
[70] Ar-Razi, as-Sirah
al-Falsafiyyah, hal. 108. Filsafat Ego
Iqbal menempatkan Tuhan sebagai Ego
Mutlak (Ultimate Ego) yang harus diserap (absord)
manusia dalam upaya mencontoh sifat-sifat Tuhan (takhalluq bi akhlaqillah).
Muhammad Fahmi Muqaddas, Konsep Ego Manusia Menurut Iqbal; Sebuah Dialektika
Pemikiran tentang Filsafat Manusia, dalam Jurnal Filsafat,
Yogyakarta, Universitas Gajah mada, Seri 24, Februari, 1996, hal. 38.
[71] Lenn E. Goodman, Muhammad Ibn
Zakariyya al-Razi, dalam Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, eds., History
of Islamic Philosophy, Part I, London and New York, Routledge,
1996, hal. 207
[78] Leen E. Goodman, The Epicurean Ethic
of Muhammad Ibn
Zakariyya
ar-Razi, dalam Studia Islamica, No. 31, Januari 1972, hal. 10-1
[84] Menurut ar-Razi berdusta berarti
memanipulasi informasi, yang membuat pelakunya tidak akan merasa tenang. Namun
demikian dalam kondisi atau karena alasan tertentu ---misalnya untuk
meringankan beban perasaan seseorang--- maka berdusta tidak dipandang sebagai
perbuatan buruk. Ibid., hal. 57-6
No comments:
Post a Comment